I.
Pendahuluan
Islam adalah
agama yang sistem akidah dan syariatnya ditegakkan atas dasar ilmu. Artinya,
Islam merupakan agama yang menampilkan diri berdasarkan atas ilmu pengetahuan
dan menjadikan tuntunan mencari ilmu sebagai salah satu bentuk ibadah yang
paling besar nilainya. Islam mewajibkan umatnya untuk mencari dan memperkaya
dirinya dengan ilmu, hal ini menunjukkan betapa pentingnya menuntut ilmu.
Karena ilmu merupakan tiang kehidupan, dasar kebangkitan umat, tonggak budaya
dan sarana mencapai kemajuan baik individu maupun masyarakat. Artinya bahwa
dengan ilmulah manusia mampu mengakomodasikan
perolehan-perolehannya, dan mampu
menerjemahkan ajaran agamanya dalam kehidupan.[1]
Kenyataan yang
ada sekarang ilmu banyak disalahgunakan oleh pemiliknya untuk hal-hal yang
negatif dan tidak menempatkan ilmu tersebut pada tempatnya. Hal ini terjadi
karena ketidakseimbangan ilmu agama dan
dunia yang diperoleh. Di sinilah letak perbedaan antara Islam dan agama
lainnya. Islam memandang bahwa ilmu merupakan bagian yang terintegrasi dan
berkorelasi dengan agama. Singkat kata
untuk dapat merealisasikan Islam dalam hidup dibutuhkan ilmu dan untuk mengembangkan
ilmu perlu “disetir” oleh agama sebagai pembimbing dan konsultannya. Pada
makalah ini dalam pembahasannya akan memaparkan interpretasi hadits
tarbawi mengenai pentingya menuntut ilmu dalam perspektif Islam kaitannya
dengan peran ilmu dalam pendidikan sekarang.
II.
Kritik Sanad
A.
Takhrij Hadits
Hadits yang
akan diteliti adalah berdasarkan kitab sunan Ibnu Majah Nomor 220 mengenai
pentingnya menuntut ilmu. Setelah diadakan penelusuran lebih lanjut oleh
penulis terdapat pada kitab muqoddimah bab
فضل العلماء والحث على طلب العلم.[2]
حدثنا هشام بن عمار . حدثنا حفص بن
سليمان . حدثنا كثير بن شنظير عن محمد بن سيرين عن أنس بن مالك قال : قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم ( طلب العلم فريضة على كل مسلم وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير
الجوهر واللؤلؤ والذهب )
“Hisyam bin Amar menceritakan kepada kami, (dengan berkata)
Hafish bin Sulaiman menceritakan kepada kami. (Ia menyebutkan) Katsir bin
Sindzir meriwayatkan kepada kami. (Ia menyebutkan) dari Muhammad bin Sirin,
dari Anas bin Malik, ia berkata. “Rasulullah SAW bersabda : “ Menuntut ilmu
hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan orang yang menyerahkan keilmuan kepada
yang bukan ahlinya, seperti orang yang mengalungkan intan, permata dan emas di
leher babi”.
Kegiatan selanjutnya adalah pentakhrijan hadits, dan didapatkan hasil
bahwa yang membahas hadits semakna dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah terdapat pada Al Mu’jam Alkabir karya At Tabrani dan Musnad
Assyihab karya Al Qadha’i. Adapun bunyi teks hadits tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
At Tabrani
dalam Mu’jam Al Kabir[3]
حدثنا
محمد بن يحيى بن المنذر القزاز و الحسين بن إسحاق التستري قالا : ثنا الهذيل بن
إبراهيم الحماني ثنا عثمان بن عبد الرحمن القرشي عن حماد بن أبي سليمان عن أبي
وائل عن عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : طلب
العلم فريضة على كل مسلم
2.
Al Qadha’i
dalam Musnad Asy Syihab[4]
أخبرنا أبو مسلم محمد بن
أحمد بن علي الكاتب ثنا عبد الله بن يحيى الأصبهاني ثنا عبد الله بن محمد بن زكريا
الأصبهاني ثنا إسماعيل بن عمرو البجلي ثنا مسعر عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري
قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : طلب
العلم فريضة على كل مسلم
Skema Jalur
Sanad

I’tibar
adalah upaya menyertakan sanad-sanad lain
dalam suatu penelitian hadis, yang pada hadis itu tampak hanya satu orang
periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad lain akan diketahui adakah
periwayat lain atau tidak ada dari
bagian sanad-sanad dimaksud. Dengan demikian kegiatan ini untuk melihat secara
keseluruhan sanad suatu hadis dari segi ada tidaknya pendukung baik berupa syahid maupun mutabi.[5]
Dari skema sanad tersebut dapat diketahui bahwa ada 2 syahid dalam meriwayatkan
hadits ini yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Abi Sa’id Alkhudriy.
B.
Penelitian, Kritik, dan Analisa Terhadap Sanad
Hadits
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam kitab sunan Ibnu Majah diriwayatkan
oleh 6 periwayat. Adapun urutannya adalah Anas bin Malik, Muhammad bin Sirrin,
Katsir bin Syindlir, Hafsh bin Sulaiman, Hisyam bin Ammar, dan yang terakhir
adalah Ibnu Majah.
a.
Penilaian atas Kualitas Periwayat
1.
Anas bin Malik[6]
Nama
lengkapnya adalah Anas bin Malik bin al-Nadlar bin Dlamdlam bin Zaid bin Haram.
Ia termasuk salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau lahir
di Makkah dan berdomisili di Basrah, meninggal pada tahun 92 H. Berdasarkan
kaidah umum dalam ilmu hadits bahwa semua sahabat itu adil, maka dia dimasukan
kedalamnya yang berarti keadilan dan kedhabitannya
dapat diterima, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi kredibilitasnya Diantara
guru beliau adalah Nabi Muhammad SAW, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Arqom, Tsabit
bin Qois. Sedangkan murid beliau adalah Muhammad
bin Sirrin, Muhammad bin Malik, Muhammad bin Muslim, dll.
2.
Muhammad bin
Sirrin
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Sirrin bin Maula Anas bin Malik. Beliau termasuk
salah seorang tabi’in yang menetap dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H.
Guru Muhammad bin Sirrin antara lain Ibn al-‘Ala’ al Hadlrami, Abu Ubaidah bin
Hudzaifah al Yaman, Anas bin Malik
dll. Murid beliau antara lain Abu Al-‘amr bin al-Ala bin Ammar, abu Ma’an, Katsir bin Syindlir, dll.[7]
Penilaian kritikus hadits terhadapnya seperti yang disampaikan oleh Ahmad bin
Hanbal, Yahya bin Ma’in, Al ijli yang mengatakan bahwa beliau tsiqoh. [8]
3.
Katsir bin
Syindzir
Nama
lengkapnya adalah Katsir bin Syindzir al Maziny lahir di Basrah. Ia termasuk
golongan yang tidak pernah bertemu dengan sahabat dan menempati thabaqat ke-6
dan termasuk tabi’in yang paling muda. Gurunya diantaranya adalah Hasan bin Abi
Hasan Yasar,’Atha’ bin Abi Rabbah Aslam, Anas bin Sirrin, dan Muhammad bin Sirrin. Sedangkan muridnya
adalah Said bin Abi Aruwiyah, Hammad bin Zaid, Abd al Warits bin Said, Aban bin
Yazid al Aththar, dan Hafsh bin Sulaiman.
Penilaian ulama terhadapnya seperti apa yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal
bahwa beliau shalih al hadits, Ishaq
bin Manshur menilainya shalih, Al nasa’i
menilainya laisa bil qowwiy,[9]
4.
Hafsh bin
Sulaiman
Nama lengkapnya adalah Hafsh bin Sulaiman al Usdy al Bazaz lahir diKufah
dan wafat pada tahun 180 H. ia termasuk dalam tingkatan pertengahan tabi’
tabi’in (thabaqat 7). Gurunya antara lain Sammak bin Harb
bin Aus, Katsir bin Zadan dan Katsir bin
Syindzir. Sedangkan salah satu muridnya adalah Hisyam bin Ammar.[10]
Kualitas periwayatannya dapat dilihat dari penuturan Abdullah bin ahmad
menilainya sholih, Waqi’ bin al Jarrah
yang menilainya tsiqoh, Dar Al Qutni menyatakan dho’if,[11]
Ahmad bin Hanbal menyatakan ma bihi ba’s,
Yahya bin Ma’in menyatakan laisa bi
tsiqah, Ali bin Madaniy, Abu Zur’ah menilai dhaif al hadits.[12]
5.
Hisyam bin
Ammar
Nama
lengkapnya adalah Hisyam bin Ammar bin Nushair bin Maisarah bin ‘Abban. Beliau
lahir di Syam pada tahun 153 H dan wafat di Dujjail ditahun 245 H. Beliau hidup
dimasa tabi’tabiin. Diantara gurunya adalah Hafsh bin Sulaiman dan
diantara muridnya adalah Abu Daud, Al Nasa’I, Ibnu Majah, dll.[13]
Ia termasuk rawi yang dinilai shuduqun
kabir oleh Dar al Qutny. Akan tetapi Ibrahim bin Junaid, al Ijli, dan Ibnu
Hibban menilai tsiqah, Al nasa’I
menilai la ba’sa bih.[14]
6.
Ibnu Majah
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al Rubay’iy al Qazwaini
al Hafidz. Nama Majah adalah laqab
ayahnya. Sementara itu, al Qazwini juga dianggap sebagai nama lain yang
dinisbatkan kepada Ibnu Majah, karena tersebut merupakan tempat dimana ia
tumbuh dan berkembang. Sedangkan tempat kelahiran Ibnu
Majah tidak ada sumber yang menjelaskannya. Ia lahir pada tahun 209 H dan wafat
dalam usia 74 tahun, tepatnya pada hari selasa tanggal 22 Ramadhan tahun 273 H.[15]
Guru pertama Ibnu Majah adalah Ali ibn Muhammad al Tanafasy dan Jubarah al
Mughlis. Sejumlah guru yang lain Mus’ab ibn Abdullah al Zubairi, Abu Bakar ibn
Abi Syaibah, Hisyam bin Ammar, dll.
Sedangkan muridnya adalah Muhammad ibn Isa al Abhari, Abu Hasan al Qattan, Ibn
Sibawaih, dll. Penilaian ulama terhadap Ibnu Majah adalah dalam tingkatan yang
baik dan tinggi. Seperti penilaian al Mizzy bahwa beliau sosok orang yang alim,
seorang pengarang kitab yang bermanfaat dan memiliki pengalaman yang luas. Abu
Ya’la al Khalili menilai bahwa ibn Majah dapat dipercaya, dapat dijadikan hujjah, banyak mengetahui hadits dan
menghafalnya, dan banyak melakukan perjalanan ilmiah keberbagai kota untuk
menulis hadits.[16]
Ibnu Majah adalah pengumpul hadits yang tertuang dalam karyanya kitab sunan
Ibnu Majah yang masih ada hingga saat ini, walaupun karya tersebut tergolong
sedikit dibanding ulama yang tergolong pengumpul hadits dalam jajaran kutubuttis’ah.[17]
b.
Persambungan Sanad
Untuk melihat
adanya persambungan sanad dapat dilihat dari segi kualitas periwayat dalam
sanad yakni dengan melihat ketsiqatannya
(adil dan dabitnya) tanpa adanya tadlis serta hubungannya dengan
periwayat terdekat baik kesamaan pada masa hidupnya atau hubungan antara guru
dan murid dalam periwayatan hadits.[18]
Berdasarkan
penjelasan di atas, antara Rasulullah saw. dengan Anas bin Malik (w.92H) tidak
diragukan lagi persambungannya. Sedangkan hubungannnya dengan periwayat sesudahnya, Muhammad bin Sirrin (w.
110H) dapat dikatakan bersambung disebabkan di antara keduanya terdapat
hubungan antara guru dan murid. Di samping itu, selisih umur antara guru dan
murid memungkinkan untuk bertemu. Persambungan sanad antara Katsir bin Syindzir
dengan rawi sebelumya, Muhammad bin Sirrin dapat dilihat pada hubungan guru dan
murid dan umur keduanya. Sedangkan hubungannya dengan periwayat sesudahnya juga
dapat dikatakan bersambung berdasarkan pertimbangan yang sama. sanad Hafsh bin
Sulaiman (w.180H) dengan periwayat sebelumnya, Katsir bin Syindzir bersambung
berdasarkan atas hubungan guru dan murid, selisih umur keduanya. Demikian juga
hubungan antara Hisyam bin Ammar (w.245H) dengan sanad sesudahnya yaitu Ibnu
Majah (w.273H) juga diketahui bersambung dengan pertimbangan yang sama.
c.
Hasil Penelitian Sanad
Berdasarkan
hasil penelitian sanad ketiga jalur itu dapat diketahui bahwa hadits tentang
kewajiban menuntut ilmu adalah bersambung kepada Nabi Muhammad atau dengan kata
lain memiliki sanad muttasil. Hal ini
didukung oleh adanya syahid yang
bersumber lebih dari satu orang sahabat periwayat pertama yaitu Anas bin Malik,
Abdullah bin Mas’ud, dan Abi Sa’id al Khudriy. Penilaian dari segi kualitas rijal, hadits ini menempati urutan
dibawah hadits shahih dengan bukti penilaian para kritikus hadits dengan lafal tsiqat, tsiqat ma’mun, shalih al hadits,
shoduq, dan senada. Hanya beberapa periwayat yang dinilai dho’if
oleh Dar Al Qutni menyatakan,
Ahmad bin Hanbal menyatakan ma bihi ba’s,
Yahya bin Ma’in menyatakan laisa bi
tsiqah, Ali bin Madaniy, Abu Zur’ah menilai dhaif al hadits.
Setelah diadakan penulusuran oleh penulis, dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Anas bin Malik ini ada penilaian negatif terhadap salah satu periwayat
tersebut diatas yaitu Hafsh bin sulaiman yang dinilai oleh ulama kritikus
hadits lemah atau dhoif. Sehingga
hadits tersebut mencapai derajat dhoif
yang menurunkan derajat hadits tersebut tetapi para ulama lain menilai postitif
sehingga menggunakan kaidah al akhdzu li
al ta’dil (yang diambil patokan adalah yang menilai positif). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hadits-hadits ini dari segi sanad derajatnya dhoif. Tapi karena didukung oleh perawi
lain yang tsiqoh dan adanya dua syahid dari kalangan sahabat yaitu
Abdullah bin Mas’ud dan Abi Said Alkhudriy Kesimpulannya hadits tersebut
mencapai derajat Hasan li Ghairihi,
sehingga dapat dijadikan sebagai hujjah atau
pegangan.
C.
Kritik terhadap Matan
Keshahihan sanad belum menjadikan jaminan bagi
keshahihan matan. Sebuah hadits yang sanadnya shahih muttasil dapat saja
memiliki matan yang tidak shahih demikian juga sebaliknya. Analisa kedua aspek
(sanad dan matan) menjadi penting untuk menemukan validitas dan ontetitas
sebuah hadits.[19]
Jika hadits
tentang menuntut ilmu dicermati, maka terdapat perbedaan redaksi matan atau
kalimat yang digunakan oleh masing-masing periwayat hadits. Matan yang
diriwayatkan dari sunan Ibnu Majah ada tambahan hadits yang berbunyi : وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب
Lihat tabel
dibawah ini :
|
Sunan Ibnu Majah
|
Thabrani
|
Al Qadha’i
|
|
طلب
العلم فريضة
|
طلب
العلم فريضة
|
طلب
العلم فريضة
|
|
على كل مسلم
|
على كل مسلم
|
على كل مسلم
|
|
وواضع
العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب
|
|
|
Perbedaan
redaksi atau lafal yang demikian merupakan sesuatu yang wajar dalam periwayatan
hadits, karena kebanyakan periwayatan hadits dilakukan secara maknawi. Maka
perbedaan lafal hadits menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam
periwayatan hadits, sehingga hadits tentang kewajiban menuntut ilmu tidak
terjadi syudzuz (janggal) dan ‘illat (cacat) disebabkan hanya ada
penambahan kalimat yang sifatnya lebih menguatkan dari makna hadits tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits ini dari segi sanad dan matan
dapat dijadikan sebagai hujjah bagi ajaran islam, karena sanadnya muttasil
dan matannya tidak mengandung syudzuz
dan ‘illat.
Dewasa ini
masih sering kita temukan beberapa problematika terkait dengan kewajiban
menuntut ilmu sebagaimana yang dibahas dalam hadits ini.
Fenomena-fenomena yang terjadi di kalangan kita sekarang banyak orang memandang
sebelah mata terhadap orang yang tidak berilmu berbeda dengan orang yang
berilmu. Orang yang tidak berilmu cenderung diremehkan,
direndahkan dan disepelehkan. Masyarakat pun beranggapan bahwa tidak ada yang
bisa diandalkan dari orang yang tidak berilmu. Namun sebaliknya, orang yang
berilmu selalu ditinggikan, dihormati dan tentunya memiliki kedudukan yang
baik. Hal ini merupakan suatu bukti yang telah Allah SWT tetapkan bahwa Dia
akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Oleh karena itu, menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Di zaman
sekarang rata-rata setiap orang sudah memiliki kesadaran untuk menuntut ilmu
karena mereka sudah mengetahui kebutuhan mereka dimasa yang akan datang, akan
tetapi cara mereka untuk menanamkan nilai dari ilmu itu sendiri masih kurang
seperti halnya fenomena yang ada di kalangan kita sekarang, pejabat-pejabat
yang tentunya memiliki ilmu yang cukup luas namun mereka belum bisa mengambil
nilai-nilai dari ilmu yang mereka pelajari atau mungkin saja mereka belum bisa
menerapkan ilmu yang mereka miliki sesuai bidangnya. Contohnya saja realitas
yang ada para artis sekarang yang tidak mempunyai bekal ilmu mengenai politik
namun mereka bisa menduduki bangku politisi dikarenakan ketenaran mereka
menjadi salah satu alat untuk memperoleh suara di bidang politisi. Pada akhirnya,
apa yang terjadi? Mereka pun kandas terbelenggu dalam kasus yang tenar seperti
sekarang ini seperti korupsi. Dari kasus tersebut penulis dapat menjelaskan
bahwa hadis yang dikaji di sini tidak hanya sebatas kewajiban menuntut ilmu
saja akan tetapi diwajibkan pula mengamalkan bagi dirinya dan orang lain. Dalam
hadis ini pula dijelaskan bahwa mengamalkan ilmu itu juga harus sesuai dengan
ahlinya dan tidak menyerahkan kepada yang bukan ahlinya, karena hal itu
merupakan perbuatan yang sia-sia.
Sabda
Rasulullah dalam hadis ini sangat jelas pemahamannya, bahwa kita wajib menuntut
ilmu. Yang dimaksud dengan menuntut ilmu untuk masa sekarang adalah menjalani
pendidikan. Hadits “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan” ini begitu selaras dengan sebuah pribahasa yang mengatakan “Kalaulah
bukan karena ilmu, maka manusia tak ubahnya seperti binatang”. Peribahasa ini
di satu sisi mengungkapkan perbedaan antara manusia dan hewan dan di sisi lain
merupakan sindiran bagi manusia untuk menuntut dan menguasai ilmu serta
mengamalkannya, agar ia tidak dibodoh-bodohi dan tidak dikatakan seperti
binatang.
Pada masa
sekarang menuntut ilmu dilaksanakan dengan metode dan sistem yang ditentukan
oleh pemerintah yang hal itu dianggap dapat meraih ilmu dengan baik dan sukses.
Walaupun realitasnya sekarang pendidikan bukanlah sarana untuk meraih ilmu
semata, akan tetapi sebagian dari mereka pendidikan dijadikan sebagai ajang
untuk bersuka ria atau berpesta pora. Hal-hal demikian terkadang menjadikan
ilmu disalahgunakan sehingga terjadi kasus yang dibahas sebelumnya. Oleh karena
itu, hendaknya kita mengambil nilai dari ilmu yang kita miliki dan memahami
tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pada
dasarnya tujuan pendidikan tidak lain untuk memanusiakan manusia dan menjadikan kehidupan kita
lebih baik.
III.
Syarah Hadits
A.
Penjelasan Istilah Kunci
Kata طَلَبُmerupakan mashdar
dari kata طَلَبَ -
يَطْلُبُ yang berarti mencari, meminta[20], atau berusaha mendapatkan, mencari, meminta, menginginkan.[21] Dalam hadits ini kata طَلَبُ
adalah mudhaf karena
berdampingan dengan kata العلم yang menjadi mudhaf ilaih nya. Kata mudhaf dan mudhaf
ilaih ini berkedudukan sebagai mubtada’. Sedangkan kata العلم di sini berarti pengetahuan[22], ilmu pengetahuan dan sains.[23] Dalam kamus Munjid bahwa kata طَلَبُ adalah حاول
وجوده و أخذه, oleh karena itu dalam hadis ini
digunakan kata طَلَبُ karena lebih
ditekankan proses mendapatkannya.
Kata فريضة berarti fardlu
atau kewajiban.[24] Kata ini merupakan bentuk kata sifat musyabihat dari wazan فَعُلَ - يَفْعُلُ, yaitu kalimat yang mempunyai makna yang tetap. Adapun menurut
Hifni, sifat musyabihat adalah isim yang dibentuk untuk pelaku
pekerjan yang tidak bersifat sebentar. Jika digabungkan sifat musyabihat adalah
isim yang dibentuk untuk pelaku pekerjaan yang masanya lama atau tetap.
Ada perbedaan menonjol antara sifat musyabihat dengan isim fa’il yaitu
bahwa sifat musyabihat memiliki masa yang langgeng, sedangkan isim
fa’il memiliki masa sebentar.[25]
Maka dalam hadis ini menggunakan kata tersebut karena menuntut ilmu merupakan
sifat yang wajib bagi siapapun, dimanapun dan kapanpun tanpa dibatasi ruang dan
waktu. Menuntut ilmu diwajibkan bukan hanya untuk masa yang sebentar namun
dalam waktu yang lama. Selanjutnya, kata فريضة dalam kamus munjid asalnya adalah فَرُضَ – يَفْرُضُ,
kata فريض
juga merupakan sighat mubalaghah yang wazannya adalah فَعِيْلٌ untuk menunjukkan arti sangat.[26]
Oleh karena itu menuntut ilmu di sini sangat ditekankan/wajib.
Kata مسلم yang berarti orang islam
laki-laki[27] tanpa menyebutkan kata مسلمات sebab kata muslim sudah
mencakup atau mewakili kata muslimat itu sendiri.
B.
Kandungan Pokok Hadits
Hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan suatu yang
sangat penting bagi manusia dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia tidak
akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa mempunyai ilmu. Bahkan yang menjadikan
manusia memiliki kelebihan diantara makhluk-makhluk Allah yang lain adalah
karena manusia memilki ilmu. Oleh karena itu hadis ini menjelaskan bahwa hukum
menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim dan menjelaskan pula untuk
tidak memberikan ilmu kepada orang yang enggan menerimanya, karena orang yang
enggan menerima ilmu tidak akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan mereka
akan menertawakannya.
Setiap ilmuwan memiliki spesifikasi ilmu sesuai dengan bidangnya.
Seseorang yang berbicara ilmu yang bukan pada ahlinya berarti zalim atau suatu
penganiayaan sama halnya mengenakan kalung pada binatang yang rendah dengan
benda yang sangat berharga, tentu orang akan muak dan
menolak hal tersebut.[28]
Sebagaimana tertera dalam hadis orang yang menyerahkan keilmuan kepada yang
bukan ahlinya, seperti orang yang mengalungkan intan, permata dan emas di leher
babi.
Berkaitan
dengan hadis طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ pertama, term ilmu mengandung makna general yang mencakup keseluruhan
pemahaman bahwa pada tingkat ilmu apapun, seseorang harus berjuang untuk
mengembangkannya lebih jauh. Dari mereka yang bodoh, pemula maupun para sarjana
sekalipun, harus tetap merasa seperti anak kecil dengan apa yang telah
dicapainya. Artinya ia harus terus merasa kurang, tidak lekas puas dan merasa
bahwa dirinya semakin tidak mengetahui banyak hal. Kedua, hadits tersebut
mengindikasikan bahwa seorang muslim tidak akan pernah bisa keluar dan terbebas
dari tanggungjawabnya untuk mencari ilmu. Ketiga, ilmu laksana cahaya, tiada
satupun lapangan pengetahuan yang tercela dan negatif pada dirinya.
Hadits ini
telah melahirkan berbagai pembahasan, seperti ilmu apa yang harus dicari oleh
seorang muslim. Para tokoh islam berbeda pendapat dalam hal ini. Karya- karya
yang dapat dirujuk dan membahas masalah ilmu pengetahuan adalah kitab al
Fihris karya al Nadim, Ikhwan al Safa dan Mafatih al Ulum
karya Yusuf al Khatib. Kalsifikasi ilmu pengetahuan dalam Ikhwan al Safa
adalah studi-studi keduniaan seperti membaca, menulis, leksikografi, tata
bahasa, pertanian, dsb. Studi-studi religius seperti pengetahuan tentang kitab
suci Alquran dan Hadits, fiqih, tasawuf, dan studi-studi filosofikal seperti
matematika, logika, ilmu berhitung, astronomi, perkembangan jiwa, doktrin
teologi-esoterik islam dan pesan-pesan dari dunia ghaib dan ruh.[29]
Sedangkan
dalam Mafatih al Ulum karya Yusuf al Khatib mengkalsifikasikan ilmu
dalam dua hal: pertama, ilmu-ilmu pengetahuan orisinil yang berasal dari
sumber Alquran dan Hadits serta pertautan dengan keduanya ditambah ilmu lain
yang berasal dari islam murni. Kedua, ilmu pengetahuan eksotik antara
lain filsafat, ilmu kedokteran, ilmu matematika, dan kimia.[30]Abu
Hamid al Ghazali berpendapat bahwa ilmu yang wajib dicari menurut agama adalah
terbatas pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat islam yang harus
diketahui dengan pasti. Beliau mengklasifikasikan ilmu menjadi dua ilmu agama
dan ilmu non agama. Ilmu agama adalah kelompok ilmu yang diajarkan melalui
ajaran nabi dan wahyu. Sedangkan ilmu non agama adalah kelompok ilmu yang
berhubungan dengan kehidupan manusia. Muhsin Faydh al Kasyani dalam bukunya Manhajjat
al Baydha mengatakan mempelajari hukum islam sesuai dengan kebutuhannya
sendiri merupakan kewajiban perseorangan (wajib‘ain) bagi setiap muslim.
Belajar fiqih untuk memenuhi kebutuhan orang lain adalah wajib kifayah baginya.[31]
Shadr Al-Din
Syirazi tak sependapat dengan al Ghazali dan Muhsin Faydh al Kasyani, beliau
memberi komentar sehubungan dengan hadits diatas bahwa pada tingkat ilmu apapun
seseorang harus berjuang untuk mengembangkannya. Makna hadits diatas adalah
setiap muslim tidak akan pernah keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari
ilmu serta tidak ada wilayah ilmu pengetahuan atau sains yang tercela dalam
dirinya sendiri, karena ilmu laksana cahaya, dengan demikian selalu dibutuhkan.[32]
Dalam konteks
kekinian, Imam Khomeini membagi ilmu dari sisi kemanfaatannya menjadi tiga
jenis ilmu, yakni: pertama, ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan
tahap-tahap eksistensi manusia sebagai tujuan akhir penciptaan. Kedua,
ilmu-ilmu yang merugikan manusia dan membuat manusia melalaikan kewajiban
pokoknya. Ketiga, ilmu-ilmu yang tidak membawa madharat dan tidak pula
membawa manfaat. Kebermanfaatan ilmu terkait erat dengan kegunaannya dalam
mendukung evolusi kemanusiaan manusia menuju kesempurnaan dirinya. Sampai saat
ini, manusia terus menerus berada dalam proses evolusi.[33]
Pemahaman dari kalimat عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ pada hadis ini ditujukan sekaligus untuk laki-laki dan perempuan, meski
tidak disebutkan secara eksplisit. Dengan demikian, Rasulullah juga
berkeinginan untuk memperlakukan kaum perempuan bukan sebagai bawahan laki-laki,
tetapi merupakan mitra sejajar yang dapat menghapuskan perasaan superior pada
diri laki-laki dan perasaan inferior[34]
pada pihak perempuan yang selama masa jahili telah membudaya, mentradisi dan
mendarah daging.
Permasalahannya sekarang masih sering dijumpai orang yang berilmu tetapi
justru membahayakan hidup dan tatanan masyarakat. Dalam konteks ini, Al-dzahabi
menjelaskan bahwa meskipun orang yang memiliki ilmu dipandang memiliki derajat
lebih tinggi dibanding sejumlah orang ahli ibadah, bukan berarti bahwa ia terbebas
dari kewajiban dan tanggung jawabnya mengabdi kepada Allah SWT. Karena seorang
intelek yang tidak beriman, akan dapat membawa kehancuran, baik bagi diri
maupun sesamanya.[35]
Berkaitan dengan hadis tentang kewajiban menuntut ilmu menurut Muhammad
Qutb, bukan hanya sekedar perintah wajib melainkan merupakan sarana ibadah dan taqarub
ila Allah dengan senantiasa menemukan hakekat ilmu. Karenanya, ilmu dalam
Islam diberikan, diambil dan dimuat dengan membawa ruh pengabdian semata serta
digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat seperti halnya
perbuatan fardhu lainnya yang merupakan sarana agar manusia senantiasa dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedang pengertian setiap muslim adalah
mencakup laki-laki dan perempuan, Muhammad Athiyah Al Abrasyi berpendapat “Islam
has made no distinction between girls and boy in motters of education”.[36]
C.
Hubungan dengan Ayat atau Hadits
Kata ilm ternyata
memang banyak disebut, yaitu sebanyak 103 kali. Tetapi dengan kata jadiannya (mashdar),
ia disebut tak kurang dari 744 kali. Diantara ayat Al quran yang sejalan dengan
hadits tentang kewajiban menuntut ilmu ini adalah ayat yang menjelaskan tentang
diangkatnya martabat yang berilmu[37],
pentingnya pengembangan ilmu[38],
dan ayat Alquran yang pertama kali diturunkan pun menunujukkan pada perintah
mencari ilmu pengetahuan, yaitu dengan memerintahkan untuk membaca, sebagai
kunci ilmu pengetahuan[39].
Hadits-hadits
lain yang terkait dengan penafsiran nabi Muhammad SAW, sangat banyak. Diantara hadits
tentang kewajiban menuntut ilmu طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَإِنَّ
طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْئِ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِى
الْبَحْر, pentingnya ilmu pengetahuan مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيْلِ اللهِ
حَتَّى يَرْجِعَ. Selain itu, dijelaskan dalam hadits lain
bahwa barang siapa menuntut ilmu akan dimudahkan jalannya menuju syurga مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ
IV.
Penutup
A.
Kritik Praksis
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diungkapkan adanya implikasi penelitian
bahwa hadits tersebut dapat dijadikan hujjah.
Konsekuensi dari hal itu, diwajibkan bagi setiap muslim wajib menuntut
ilmu. Yang dimaksud dengan menuntut ilmu untuk masa sekarang adalah menjalani
pendidikan. Karena dengan pendidikan kita bisa mengenal diri kita. Tidak hanya
itu, pendidikan juga merupakan ruh kehidupan yang akan menutun langkah kita dan
memberi petunjuk arah, serta membangkitkan diri kita ketika kita terjatuh.
Hadits “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan”
ini begitu selaras dengan sebuah pribahasa yang mengatakan “Kalaulah bukan
karena ilmu, maka manusia tak ubahnya seperti binatang”. Peribahasa ini di satu
sisi mengungkapkan perbedaan antara manusia dan hewan dan di sisi lain
merupakan sindiran bagi manusia untuk menuntut dan menguasai ilmu serta mengamalkannya,
agar ia tidak dibodoh-bodohi dan tidak dikatakan seperti binatang.
Sebenarnya
tujuan adanya pendidikan cukup sederhana, yaitu untuk membaca tentang
kehidupan. Kita tahu di kehidupan ini tidak hanya kita yang hadir, akan tetapi
masih banyak di sekitar kita yang senantiasa mengelilingi kehidupan kita, yang
harus kita ketahui dan kita pahami. Itu semua adalah keanekaragaman kehidupan
yang tidak mungkin terlepas dari kita. Oleh sebab itu, tidak ada alat yang
canggih untuk membaca tentang semua itu kecuali dengan ilmu. Dengan demikian,
jika kita telah mempunyai bekal yang diperoleh dari pendidikan, maka kita akan
mampu membaca serta memahami tentang kehidupan ini. Sehingga kita mampu pula
menata dan menentukan langkah kita ke mana kita akan mencari arah.
B.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tentang hadits menuntut ilmu diatas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Berdasarkan
ketersambungan sanad, ketsiqohan
(keadilan dan kedzabitan), dan tidak
adanya syudzuz dan ‘Illat dalam sanad Ibnu Majah tersebut
dalam kategori hadits hasan li ghoirihi
karena dikuatkan oleh perawi yang terkenal dan dikuatkan oleh 2 syahid yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Abi
Sa’id Alkhudriy, sehingga
derajat hadits ini meningkat.
2.
Ditinjau dari segi matan ada perbedaan redaksi
atau lafal dalam periwayatan hadits, karena kebanyakan periwayatan hadits
dilakukan secara maknawi. Maka perbedaan lafal hadits menjadi sesuatu yang
tidak dapat dihindari dalam periwayatan hadits, sehingga hadits ini tidak
terjadi syudzuz dan Illat disebabkan hanya ada penambahan kalimat yang
sifatnya lebih menguatkan dari makna hadits tersebut. Hadits ini juga tidak
bertentangan dengan Alquran.
3.
Dari berbagai
definisi keilmuan menurut para ahli, definisi yang cocok dalam konteks kekinian
adalah menurut Imam Khomeini. Imam Khomeini membagi ilmu dari sisi
kemanfaatannya menjadi tiga jenis ilmu, yakni: pertama, ilmu-ilmu yang
bermanfaat bagi perkembangan tahap-tahap eksistensi manusia sebagai tujuan
akhir penciptaan. Kedua, ilmu-ilmu yang merugikan manusia dan membuat
manusia melalaikan kewajiban pokoknya. Ketiga, ilmu-ilmu yang tidak
membawa madharat dan tidak pula membawa manfaat. Kebermanfaatan ilmu terkait
erat dengan kegunaannya dalam mendukung evolusi kemanusiaan manusia menuju
kesempurnaan dirinya. Sampai saat ini, manusia terus menerus berada dalam
proses evolusi.
4.
Setiap muslim
baik laki-laki maupun perempuan wajib menuntut ilmu. Setiap muslim tidak akan
pernah keluar dari tanggungjawabnya untuk mencari ilmu serta tidak ada wilayah pengetahuan
itu yang tercela dalam dirinya sendiri karena ilmu laksana cahaya. Hadis
tentang kewajiban menuntut ilmu bukan hanya sekedar perintah wajib menuntut
saja melainkan juga mengamalkan ilmu tersebut sesuai bidang dan kemampuannya.
5.
Hadis ini juga
menjelaskan bahwa memberikan ilmu kepada yang bukan ahlinya merupakan perbuatan
yang sia-sia dan hanya akan berakibat kehancuran. Hadis tentang kewajiban
menuntut ilmu ini juga merupakan sarana ibadah dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan senantiasa menemukan hakikat ilmu yang sebenarnya. Karena
seorang intelek yang tidak beriman akan dapat membawa kehancuran, baik bagi
diri maupun sesamanya.
Daftar Pustaka
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, Syihab
al-Din Abu Fadl. 1985. Tahzib al-Tahzib, jilid 2, 11 (Cet. I. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)
Ali, Atabik & Ahmad Zuhdi M. 1996. Kamus
Al- Ashri, (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum)
Anas, Idhoh . 2009. Ilmu Shorof Lengkap. (Pekalongan : Al-Asri Pekalongan)
Busyro, Muhtarom . 2010. Shorof Praktis “Metode Krapyak”. (Yogyakarta :
Putra Menara)
CD Software Maktabah
Syamilah Versi 3. 51
Dosen Tafsir Hadits Fak.Ushuluddin UIN SUKA. 2003. Studi Kitab Hadits. (Yogyakarta: Teras)
Ghulsyani, Mahdi. 1990. Filsafat Sains Menurut Al qur’an. Bandung:
Mizan
Ismail, Syuhudi. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah). (Jakarta: Bulan Bintang)
Khamdan, dkk. 2012. Studi Hadis Teori dan
Metodologi (Kritik Terhadap Hadis-hadis Pendidikan), (Yogyakarta : Idea Press
Yogyakarta)
Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis Tarbawi. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
Lidwa.com yang diakses pada tanggal 8 November pukul
13.51
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus
Al Munawwir, (Yogyakarta : Pustaka Progressif)
Sumbulah, Umi. 2008. Kritik-Hadis; Pendekatan
Historis Metodologis (Malang : UIN Malang Press)
Suryadilaga, M Alfatih. 2009. Aplikasi Penelitian Hadits dari Teks ke
Konteks, (Yogyakarta: Teras)
Suryadilaga, M Alfatih. 2009. Konsep Ilmu dalam Kitab Hadits. (Yogyakarta: Teras)
Yusuf al-Miziy, Jamal addin Abu
al-Hajjaj. 1994. Tahzib al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, Jilid 7, 24,25
(Beirut: Dar al-Fikr)
[1] Umi Sumbulah, Kritik-Hadis;
Pendekatan Historis Metodologis (Malang : UIN Malang Press, 2008), hlm.
192.
[2] Lidwa.com yang diakses pada
tanggal 8 November pukul 13.51
[5] M. Alfatih
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits
dari Teks ke Konteks, (Yogyakarta: Teras, 2009). hlm. 29
[7] CD Software Maktabah
Syamilah versi 3.51, Jamal addin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Miziy, Tahzib
al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, jilid 25, hlm. 344
[8] Jamal addin Abu al-Hajjaj Yusuf
al-Miziy, Tahzib al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, Jilid 25 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), hlm. 344
[9] Jamal addin Abu al-Hajjaj Yusuf
al-Miziy, Tahzib al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, Jilid 24 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), hlm. 123-124
[11] Syihab al-Din Abu Fadl Ahmad ibn
Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib, jilid 2 (Cet. I. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), hlm 345
[12] Jamal addin Abu al-Hajjaj Yusuf
al-Miziy, Tahzib al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, Jilid 7 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), hlm. 10
[13] CD Software Maktabah Syamilah versi 3.51, Syihab al-Din Abu Fadl Ahmad ibn
Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib, jilid 11, hlm. 46
[14] Syihab al-Din Abu Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, Tahzib
al-Tahzib, jilid 11 (Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), hlm.
46
[15] Dosen Tafsir Hadits Fak.Ushuluddin
UIN SUKA, Studi Kitab Hadits, (Yogyakarta: Teras,
2003), hlm. 160
[16] Ibid, hlm 162
[17] Khamdan, dkk, Studi Hadis Teori
dan Metodologi…hlm. 136
[18] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis
dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang,
2005) hlm. 132
[19] Khamdan, dkk, Studi
Hadis Teori dan Metodologi (Kritik Terhadap Hadis-hadis Pendidikan),
(Yogyakarta : Idea Press Yogyakarta, 2012),
hlm.139.
[20] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al
Munawwir, (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997), hlm. 857.
[21] Atabik Ali & Ahmad Zuhdi M, Kamus
Al- Ashri, (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum, 1996), hlm. 1236.
[22] Ahmad Warson Munawwir, Kamus…, hlm.
966.
[23] Atabik Ali & Ahmad Zuhdi M, Kamus,…hlm.
1314.
[24] Ibid, hlm. 1391.
[25] Idhoh Anas, Ilmu Shorof Lengkap, (Pekalongan : Al-Asri Pekalongan,
2009), hlm.79.
[26] Muhtarom Busyro, Shorof Praktis “Metode Krapyak”, (Yogyakarta :
Putra Menara, 2010), hlm. 194.
[27] Ahmad Warson Munawwir, Kamus…, hlm.
656.
[28] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi
,(Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012). hlm. 142.
[34] Untuk menyimak kasus
perlakuan inferior bagi kaum hawa di masa jahili adalah pembunuhan dan
penguburan anak-anak wanita hidup-hidup karena disaat itu, wanita dipandang
sebagai aib dalam sebuah adat dan tatanan rumah tangga. Mengenai
dasar-dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan ini antara lain dapat
disimak dalam al quran surat alhujurat ayat 13.
[37] Al Mujadalah ayat 11
[38] Az Zumar ayat 9
[39] Al ALaq 1-5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar