Jumat, 07 November 2014

Analisis Hadits tentang Kewajiban Menuntut Ilmu



I.                   Pendahuluan
Islam adalah agama yang sistem akidah dan syariatnya ditegakkan atas dasar ilmu. Artinya, Islam merupakan agama yang menampilkan diri berdasarkan atas ilmu pengetahuan dan menjadikan tuntunan mencari ilmu sebagai salah satu bentuk ibadah yang paling besar nilainya. Islam mewajibkan umatnya untuk mencari dan memperkaya dirinya dengan ilmu, hal ini menunjukkan betapa pentingnya menuntut ilmu. Karena ilmu merupakan tiang kehidupan, dasar kebangkitan umat, tonggak budaya dan sarana mencapai kemajuan baik individu maupun masyarakat. Artinya bahwa dengan ilmulah manusia mampu mengakomodasikan perolehan-perolehannya, dan mampu menerjemahkan ajaran agamanya dalam kehidupan.[1]
Kenyataan yang ada sekarang ilmu banyak disalahgunakan oleh pemiliknya untuk hal-hal yang negatif dan tidak menempatkan ilmu tersebut pada tempatnya. Hal ini terjadi karena ketidakseimbangan ilmu agama dan  dunia yang diperoleh. Di sinilah letak perbedaan antara Islam dan agama lainnya. Islam memandang bahwa ilmu merupakan bagian yang terintegrasi dan berkorelasi dengan agama.  Singkat kata untuk dapat merealisasikan Islam dalam hidup dibutuhkan ilmu dan untuk mengembangkan ilmu perlu “disetir” oleh agama sebagai pembimbing dan konsultannya. Pada makalah ini dalam pembahasannya akan memaparkan interpretasi hadits tarbawi  mengenai pentingya menuntut ilmu dalam perspektif Islam kaitannya dengan peran ilmu dalam pendidikan sekarang.

II.                Kritik Sanad
A.     Takhrij Hadits
Hadits yang akan diteliti adalah berdasarkan kitab sunan Ibnu Majah Nomor 220 mengenai pentingnya menuntut ilmu. Setelah diadakan penelusuran lebih lanjut oleh penulis terdapat pada kitab muqoddimah bab فضل العلماء والحث على طلب العلم.[2]
حدثنا هشام بن عمار . حدثنا حفص بن سليمان . حدثنا كثير بن شنظير عن محمد بن سيرين عن أنس بن مالك قال  :  قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( طلب العلم فريضة على كل مسلم وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب )
Hisyam bin Amar menceritakan kepada kami, (dengan berkata) Hafish bin Sulaiman menceritakan kepada kami. (Ia menyebutkan) Katsir bin Sindzir meriwayatkan kepada kami. (Ia menyebutkan) dari Muhammad bin Sirin, dari Anas bin Malik, ia berkata. “Rasulullah SAW bersabda : “ Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan orang yang menyerahkan keilmuan kepada yang bukan ahlinya, seperti orang yang mengalungkan intan, permata dan emas di leher babi”.
 Kegiatan selanjutnya adalah pentakhrijan hadits, dan didapatkan hasil bahwa yang membahas hadits semakna dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah terdapat pada Al Mu’jam Alkabir karya At Tabrani dan Musnad Assyihab karya Al Qadha’i. Adapun bunyi teks hadits tersebut adalah sebagai berikut:
1.      At Tabrani dalam Mu’jam Al Kabir[3]
حدثنا محمد بن يحيى بن المنذر القزاز و الحسين بن إسحاق التستري قالا : ثنا الهذيل بن إبراهيم الحماني ثنا عثمان بن عبد الرحمن القرشي عن حماد بن أبي سليمان عن أبي وائل عن عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : طلب العلم فريضة على كل مسلم
2.      Al Qadha’i dalam Musnad Asy Syihab[4]
أخبرنا أبو مسلم محمد بن أحمد بن علي الكاتب ثنا عبد الله بن يحيى الأصبهاني ثنا عبد الله بن محمد بن زكريا الأصبهاني ثنا إسماعيل بن عمرو البجلي ثنا مسعر عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : طلب العلم فريضة على كل مسلم

Skema Jalur Sanad
I’tibar adalah upaya menyertakan sanad-sanad lain dalam suatu penelitian hadis, yang pada hadis itu tampak hanya satu orang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad lain akan diketahui adakah periwayat lain  atau tidak ada dari bagian sanad-sanad dimaksud. Dengan demikian kegiatan ini untuk melihat secara keseluruhan sanad suatu hadis dari segi ada tidaknya pendukung baik berupa syahid maupun mutabi.[5] Dari skema sanad tersebut dapat diketahui bahwa ada 2 syahid dalam meriwayatkan hadits ini yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Abi Sa’id Alkhudriy.

B.     Penelitian, Kritik, dan Analisa Terhadap Sanad
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam kitab sunan Ibnu Majah diriwayatkan oleh 6 periwayat. Adapun urutannya adalah Anas bin Malik, Muhammad bin Sirrin, Katsir bin Syindlir, Hafsh bin Sulaiman, Hisyam bin Ammar, dan yang terakhir adalah Ibnu Majah.
a.      Penilaian atas Kualitas Periwayat
1.      Anas bin Malik[6]
Nama lengkapnya adalah Anas bin Malik bin al-Nadlar bin Dlamdlam bin Zaid bin Haram. Ia termasuk salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau lahir di Makkah dan berdomisili di Basrah, meninggal pada tahun 92 H. Berdasarkan kaidah umum dalam ilmu hadits bahwa semua sahabat itu adil, maka dia dimasukan kedalamnya yang berarti keadilan dan kedhabitannya dapat diterima, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi kredibilitasnya Diantara guru beliau adalah Nabi Muhammad SAW, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Arqom, Tsabit bin Qois. Sedangkan murid beliau adalah Muhammad bin Sirrin, Muhammad bin Malik, Muhammad bin Muslim, dll.
2.      Muhammad bin Sirrin
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Sirrin bin Maula Anas bin Malik. Beliau termasuk salah seorang tabi’in yang menetap dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H. Guru Muhammad bin Sirrin antara lain Ibn al-‘Ala’ al Hadlrami, Abu Ubaidah bin Hudzaifah al Yaman, Anas bin Malik dll. Murid beliau antara lain Abu Al-‘amr bin al-Ala bin Ammar, abu Ma’an, Katsir bin Syindlir, dll.[7] Penilaian kritikus hadits terhadapnya seperti yang disampaikan oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Al ijli yang mengatakan bahwa beliau tsiqoh. [8]
3.      Katsir bin Syindzir
Nama lengkapnya adalah Katsir bin Syindzir al Maziny lahir di Basrah. Ia termasuk golongan yang tidak pernah bertemu dengan sahabat dan menempati thabaqat ke-6 dan termasuk tabi’in yang paling muda. Gurunya diantaranya adalah Hasan bin Abi Hasan Yasar,’Atha’ bin Abi Rabbah Aslam, Anas bin Sirrin, dan Muhammad bin Sirrin. Sedangkan muridnya adalah Said bin Abi Aruwiyah, Hammad bin Zaid, Abd al Warits bin Said, Aban bin Yazid al Aththar, dan Hafsh bin Sulaiman. Penilaian ulama terhadapnya seperti apa yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal bahwa beliau shalih al hadits, Ishaq bin Manshur menilainya shalih, Al nasa’i menilainya laisa bil qowwiy,[9]
4.      Hafsh bin Sulaiman
Nama lengkapnya adalah Hafsh bin Sulaiman al Usdy al Bazaz lahir diKufah dan wafat pada tahun 180 H. ia termasuk dalam tingkatan pertengahan tabi’ tabi’in (thabaqat 7). Gurunya antara lain Sammak bin Harb bin Aus, Katsir bin Zadan dan Katsir bin Syindzir. Sedangkan salah satu muridnya adalah Hisyam bin Ammar.[10] Kualitas periwayatannya dapat dilihat dari penuturan Abdullah bin ahmad menilainya sholih,  Waqi’ bin al Jarrah yang menilainya tsiqoh, Dar Al Qutni menyatakan dho’if,[11] Ahmad bin Hanbal menyatakan ma bihi ba’s, Yahya bin Ma’in menyatakan laisa bi tsiqah, Ali bin Madaniy, Abu Zur’ah menilai dhaif al hadits.[12]
5.      Hisyam bin Ammar
Nama lengkapnya adalah Hisyam bin Ammar bin Nushair bin Maisarah bin ‘Abban. Beliau lahir di Syam pada tahun 153 H dan wafat di Dujjail ditahun 245 H. Beliau hidup dimasa tabi’tabiin. Diantara gurunya adalah Hafsh bin Sulaiman dan diantara muridnya adalah Abu Daud, Al Nasa’I, Ibnu Majah, dll.[13] Ia termasuk rawi yang dinilai shuduqun kabir oleh Dar al Qutny. Akan tetapi Ibrahim bin Junaid, al Ijli, dan Ibnu Hibban menilai tsiqah, Al nasa’I menilai la ba’sa bih.[14]


6.      Ibnu Majah
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al Rubay’iy al Qazwaini al Hafidz. Nama Majah adalah laqab ayahnya. Sementara itu, al Qazwini juga dianggap sebagai nama lain yang dinisbatkan kepada Ibnu Majah, karena tersebut merupakan tempat dimana ia tumbuh dan berkembang. Sedangkan tempat kelahiran Ibnu Majah tidak ada sumber yang menjelaskannya. Ia lahir pada tahun 209 H dan wafat dalam usia 74 tahun, tepatnya pada hari selasa tanggal 22 Ramadhan tahun 273 H.[15] Guru pertama Ibnu Majah adalah Ali ibn Muhammad al Tanafasy dan Jubarah al Mughlis. Sejumlah guru yang lain Mus’ab ibn Abdullah al Zubairi, Abu Bakar ibn Abi Syaibah, Hisyam bin Ammar, dll. Sedangkan muridnya adalah Muhammad ibn Isa al Abhari, Abu Hasan al Qattan, Ibn Sibawaih, dll. Penilaian ulama terhadap Ibnu Majah adalah dalam tingkatan yang baik dan tinggi. Seperti penilaian al Mizzy bahwa beliau sosok orang yang alim, seorang pengarang kitab yang bermanfaat dan memiliki pengalaman yang luas. Abu Ya’la al Khalili menilai bahwa ibn Majah dapat dipercaya, dapat dijadikan hujjah, banyak mengetahui hadits dan menghafalnya, dan banyak melakukan perjalanan ilmiah keberbagai kota untuk menulis hadits.[16] Ibnu Majah adalah pengumpul hadits yang tertuang dalam karyanya kitab sunan Ibnu Majah yang masih ada hingga saat ini, walaupun karya tersebut tergolong sedikit dibanding ulama yang tergolong pengumpul hadits dalam jajaran kutubuttis’ah.[17]

b.      Persambungan Sanad
Untuk melihat adanya persambungan sanad dapat dilihat dari segi kualitas periwayat dalam sanad yakni dengan melihat ketsiqatannya (adil dan dabitnya) tanpa adanya tadlis serta hubungannya dengan periwayat terdekat baik kesamaan pada masa hidupnya atau hubungan antara guru dan murid dalam periwayatan hadits.[18]
Berdasarkan penjelasan di atas, antara Rasulullah saw. dengan Anas bin Malik (w.92H) tidak diragukan lagi persambungannya. Sedangkan hubungannnya dengan  periwayat sesudahnya, Muhammad bin Sirrin (w. 110H) dapat dikatakan bersambung disebabkan di antara keduanya terdapat hubungan antara guru dan murid. Di samping itu, selisih umur antara guru dan murid memungkinkan untuk bertemu. Persambungan sanad antara Katsir bin Syindzir dengan rawi sebelumya, Muhammad bin Sirrin dapat dilihat pada hubungan guru dan murid dan umur keduanya. Sedangkan hubungannya dengan periwayat sesudahnya juga dapat dikatakan bersambung berdasarkan pertimbangan yang sama. sanad Hafsh bin Sulaiman (w.180H) dengan periwayat sebelumnya, Katsir bin Syindzir bersambung berdasarkan atas hubungan guru dan murid, selisih umur keduanya. Demikian juga hubungan antara Hisyam bin Ammar (w.245H) dengan sanad sesudahnya yaitu Ibnu Majah (w.273H) juga diketahui bersambung dengan pertimbangan yang sama.

c.       Hasil Penelitian Sanad
Berdasarkan hasil penelitian sanad ketiga jalur itu dapat diketahui bahwa hadits tentang kewajiban menuntut ilmu adalah bersambung kepada Nabi Muhammad atau dengan kata lain memiliki sanad muttasil. Hal ini didukung oleh adanya syahid yang bersumber lebih dari satu orang sahabat periwayat pertama yaitu Anas bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, dan Abi Sa’id al Khudriy. Penilaian dari segi kualitas rijal, hadits ini menempati urutan dibawah hadits shahih dengan bukti penilaian para kritikus hadits dengan lafal tsiqat, tsiqat ma’mun, shalih al hadits, shoduq, dan senada. Hanya beberapa periwayat yang dinilai dho’if  oleh Dar Al Qutni menyatakan, Ahmad bin Hanbal menyatakan ma bihi ba’s, Yahya bin Ma’in menyatakan laisa bi tsiqah, Ali bin Madaniy, Abu Zur’ah menilai dhaif al hadits.
Setelah diadakan penulusuran oleh penulis, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ini ada penilaian negatif terhadap salah satu periwayat tersebut diatas yaitu Hafsh bin sulaiman yang dinilai oleh ulama kritikus hadits lemah atau dhoif. Sehingga hadits tersebut mencapai derajat dhoif yang menurunkan derajat hadits tersebut tetapi para ulama lain menilai postitif sehingga menggunakan kaidah al akhdzu li al ta’dil (yang diambil patokan adalah yang menilai positif). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits-hadits ini dari segi sanad derajatnya dhoif. Tapi karena didukung oleh perawi lain yang tsiqoh dan adanya dua syahid dari kalangan sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Abi Said Alkhudriy Kesimpulannya hadits tersebut mencapai derajat Hasan li Ghairihi, sehingga dapat dijadikan sebagai hujjah atau pegangan.

C.    Kritik terhadap Matan
Keshahihan sanad belum menjadikan jaminan bagi keshahihan matan. Sebuah hadits yang sanadnya shahih muttasil dapat saja memiliki matan yang tidak shahih demikian juga sebaliknya. Analisa kedua aspek (sanad dan matan) menjadi penting untuk menemukan validitas dan ontetitas sebuah hadits.[19]
Jika hadits tentang menuntut ilmu dicermati, maka terdapat perbedaan redaksi matan atau kalimat yang digunakan oleh masing-masing periwayat hadits. Matan yang diriwayatkan dari sunan Ibnu Majah ada tambahan hadits yang berbunyi : وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب
Lihat tabel dibawah ini :
Sunan Ibnu Majah
Thabrani
Al Qadha’i
طلب العلم فريضة
طلب العلم فريضة
طلب العلم فريضة
على كل مسلم
على كل مسلم
على كل مسلم
وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب



Perbedaan redaksi atau lafal yang demikian merupakan sesuatu yang wajar dalam periwayatan hadits, karena kebanyakan periwayatan hadits dilakukan secara maknawi. Maka perbedaan lafal hadits menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam periwayatan hadits, sehingga hadits tentang kewajiban menuntut ilmu tidak terjadi syudzuz (janggal) dan ‘illat (cacat) disebabkan hanya ada penambahan kalimat yang sifatnya lebih menguatkan dari makna hadits tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits ini dari segi sanad dan matan dapat dijadikan sebagai hujjah bagi ajaran islam, karena sanadnya muttasil dan matannya tidak mengandung syudzuz dan ‘illat.
Dewasa ini masih sering kita temukan beberapa problematika terkait dengan kewajiban menuntut ilmu sebagaimana yang dibahas dalam hadits ini. Fenomena-fenomena yang terjadi di kalangan kita sekarang banyak orang memandang sebelah mata terhadap orang yang tidak berilmu berbeda dengan orang yang berilmu. Orang yang tidak berilmu cenderung diremehkan, direndahkan dan disepelehkan. Masyarakat pun beranggapan bahwa tidak ada yang bisa diandalkan dari orang yang tidak berilmu. Namun sebaliknya, orang yang berilmu selalu ditinggikan, dihormati dan tentunya memiliki kedudukan yang baik. Hal ini merupakan suatu bukti yang telah Allah SWT tetapkan bahwa Dia akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Oleh karena itu, menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Di zaman sekarang rata-rata setiap orang sudah memiliki kesadaran untuk menuntut ilmu karena mereka sudah mengetahui kebutuhan mereka dimasa yang akan datang, akan tetapi cara mereka untuk menanamkan nilai dari ilmu itu sendiri masih kurang seperti halnya fenomena yang ada di kalangan kita sekarang, pejabat-pejabat yang tentunya memiliki ilmu yang cukup luas namun mereka belum bisa mengambil nilai-nilai dari ilmu yang mereka pelajari atau mungkin saja mereka belum bisa menerapkan ilmu yang mereka miliki sesuai bidangnya. Contohnya saja realitas yang ada para artis sekarang yang tidak mempunyai bekal ilmu mengenai politik namun mereka bisa menduduki bangku politisi dikarenakan ketenaran mereka menjadi salah satu alat untuk memperoleh suara di bidang politisi. Pada akhirnya, apa yang terjadi? Mereka pun kandas terbelenggu dalam kasus yang tenar seperti sekarang ini seperti korupsi. Dari kasus tersebut penulis dapat menjelaskan bahwa hadis yang dikaji di sini tidak hanya sebatas kewajiban menuntut ilmu saja akan tetapi diwajibkan pula mengamalkan bagi dirinya dan orang lain. Dalam hadis ini pula dijelaskan bahwa mengamalkan ilmu itu juga harus sesuai dengan ahlinya dan tidak menyerahkan kepada yang bukan ahlinya, karena hal itu merupakan perbuatan yang sia-sia.
Sabda Rasulullah dalam hadis ini sangat jelas pemahamannya, bahwa kita wajib menuntut ilmu. Yang dimaksud dengan menuntut ilmu untuk masa sekarang adalah menjalani pendidikan. Hadits “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan” ini begitu selaras dengan sebuah pribahasa yang mengatakan “Kalaulah bukan karena ilmu, maka manusia tak ubahnya seperti binatang”. Peribahasa ini di satu sisi mengungkapkan perbedaan antara manusia dan hewan dan di sisi lain merupakan sindiran bagi manusia untuk menuntut dan menguasai ilmu serta mengamalkannya, agar ia tidak dibodoh-bodohi dan tidak dikatakan seperti binatang.
Pada masa sekarang menuntut ilmu dilaksanakan dengan metode dan sistem yang ditentukan oleh pemerintah yang hal itu dianggap dapat meraih ilmu dengan baik dan sukses. Walaupun realitasnya sekarang pendidikan bukanlah sarana untuk meraih ilmu semata, akan tetapi sebagian dari mereka pendidikan dijadikan sebagai ajang untuk bersuka ria atau berpesta pora. Hal-hal demikian terkadang menjadikan ilmu disalahgunakan sehingga terjadi kasus yang dibahas sebelumnya. Oleh karena itu, hendaknya kita mengambil nilai dari ilmu yang kita miliki dan memahami tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pada dasarnya tujuan pendidikan tidak lain untuk memanusiakan manusia dan menjadikan kehidupan kita lebih baik.

III.             Syarah Hadits
A.    Penjelasan Istilah Kunci
Kata  طَلَبُmerupakan mashdar dari kata طَلَبَ - يَطْلُبُ yang berarti mencari, meminta[20], atau berusaha mendapatkan, mencari, meminta, menginginkan.[21] Dalam hadits ini kata طَلَبُ  adalah mudhaf  karena berdampingan dengan kata العلم yang menjadi mudhaf ilaih nya. Kata mudhaf dan mudhaf ilaih ini berkedudukan sebagai mubtada’. Sedangkan kata العلم  di sini berarti pengetahuan[22], ilmu pengetahuan dan sains.[23] Dalam kamus Munjid bahwa kata طَلَبُ adalah حاول وجوده و أخذه, oleh karena itu dalam hadis ini digunakan kata طَلَبُ karena lebih ditekankan proses mendapatkannya.
Kata فريضة  berarti fardlu atau kewajiban.[24] Kata ini merupakan bentuk kata sifat musyabihat dari wazan فَعُلَ - يَفْعُلُ, yaitu kalimat yang mempunyai makna yang tetap. Adapun menurut Hifni, sifat musyabihat adalah isim yang dibentuk untuk pelaku pekerjan yang tidak bersifat sebentar. Jika digabungkan sifat musyabihat adalah isim yang dibentuk untuk pelaku pekerjaan yang masanya lama atau tetap. Ada perbedaan menonjol antara sifat musyabihat dengan isim fa’il yaitu bahwa sifat musyabihat memiliki masa yang langgeng, sedangkan isim fa’il memiliki masa sebentar.[25] Maka dalam hadis ini menggunakan kata tersebut karena menuntut ilmu merupakan sifat yang wajib bagi siapapun, dimanapun dan kapanpun tanpa dibatasi ruang dan waktu. Menuntut ilmu diwajibkan bukan hanya untuk masa yang sebentar namun dalam waktu yang lama. Selanjutnya, kata فريضة dalam kamus munjid asalnya adalah فَرُضَ – يَفْرُضُ, kata فريض juga merupakan sighat mubalaghah yang wazannya adalah فَعِيْلٌ untuk menunjukkan arti sangat.[26] Oleh karena itu menuntut ilmu di sini sangat ditekankan/wajib.
Kata مسلم yang berarti orang islam laki-laki[27] tanpa menyebutkan kata مسلمات sebab kata muslim sudah mencakup atau mewakili kata muslimat itu sendiri.

B.     Kandungan Pokok Hadits
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan suatu yang sangat penting bagi manusia dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa mempunyai ilmu. Bahkan yang menjadikan manusia memiliki kelebihan diantara makhluk-makhluk Allah yang lain adalah karena manusia memilki ilmu. Oleh karena itu hadis ini menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim dan menjelaskan pula untuk tidak memberikan ilmu kepada orang yang enggan menerimanya, karena orang yang enggan menerima ilmu tidak akan mau untuk mengamalkan ilmu itu bahkan mereka akan menertawakannya.
Setiap ilmuwan memiliki spesifikasi ilmu sesuai dengan bidangnya. Seseorang yang berbicara ilmu yang bukan pada ahlinya berarti zalim atau suatu penganiayaan sama halnya mengenakan kalung pada binatang yang rendah dengan benda yang sangat berharga, tentu orang akan muak dan menolak hal tersebut.[28] Sebagaimana tertera dalam hadis orang yang menyerahkan keilmuan kepada yang bukan ahlinya, seperti orang yang mengalungkan intan, permata dan emas di leher babi.
Berkaitan dengan hadis  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ pertama, term ilmu mengandung makna general yang mencakup keseluruhan pemahaman bahwa pada tingkat ilmu apapun, seseorang harus berjuang untuk mengembangkannya lebih jauh. Dari mereka yang bodoh, pemula maupun para sarjana sekalipun, harus tetap merasa seperti anak kecil dengan apa yang telah dicapainya. Artinya ia harus terus merasa kurang, tidak lekas puas dan merasa bahwa dirinya semakin tidak mengetahui banyak hal. Kedua, hadits tersebut mengindikasikan bahwa seorang muslim tidak akan pernah bisa keluar dan terbebas dari tanggungjawabnya untuk mencari ilmu. Ketiga, ilmu laksana cahaya, tiada satupun lapangan pengetahuan yang tercela dan negatif pada dirinya.
Hadits ini telah melahirkan berbagai pembahasan, seperti ilmu apa yang harus dicari oleh seorang muslim. Para tokoh islam berbeda pendapat dalam hal ini. Karya- karya yang dapat dirujuk dan membahas masalah ilmu pengetahuan adalah kitab al Fihris karya al Nadim, Ikhwan al Safa dan Mafatih al Ulum karya Yusuf al Khatib. Kalsifikasi ilmu pengetahuan dalam Ikhwan al Safa adalah studi-studi keduniaan seperti membaca, menulis, leksikografi, tata bahasa, pertanian, dsb. Studi-studi religius seperti pengetahuan tentang kitab suci Alquran dan Hadits, fiqih, tasawuf, dan studi-studi filosofikal seperti matematika, logika, ilmu berhitung, astronomi, perkembangan jiwa, doktrin teologi-esoterik islam dan pesan-pesan dari dunia ghaib dan ruh.[29]
Sedangkan dalam Mafatih al Ulum karya Yusuf al Khatib mengkalsifikasikan ilmu dalam dua hal: pertama, ilmu-ilmu pengetahuan orisinil yang berasal dari sumber Alquran dan Hadits serta pertautan dengan keduanya ditambah ilmu lain yang berasal dari islam murni. Kedua, ilmu pengetahuan eksotik antara lain filsafat, ilmu kedokteran, ilmu matematika, dan kimia.[30]Abu Hamid al Ghazali berpendapat bahwa ilmu yang wajib dicari menurut agama adalah terbatas pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat islam yang harus diketahui dengan pasti. Beliau mengklasifikasikan ilmu menjadi dua ilmu agama dan ilmu non agama. Ilmu agama adalah kelompok ilmu yang diajarkan melalui ajaran nabi dan wahyu. Sedangkan ilmu non agama adalah kelompok ilmu yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Muhsin Faydh al Kasyani dalam bukunya Manhajjat al Baydha mengatakan mempelajari hukum islam sesuai dengan kebutuhannya sendiri merupakan kewajiban perseorangan (wajib‘ain) bagi setiap muslim. Belajar fiqih untuk memenuhi kebutuhan orang lain adalah wajib kifayah baginya.[31]
Shadr Al-Din Syirazi tak sependapat dengan al Ghazali dan Muhsin Faydh al Kasyani, beliau memberi komentar sehubungan dengan hadits diatas bahwa pada tingkat ilmu apapun seseorang harus berjuang untuk mengembangkannya. Makna hadits diatas adalah setiap muslim tidak akan pernah keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu serta tidak ada wilayah ilmu pengetahuan atau sains yang tercela dalam dirinya sendiri, karena ilmu laksana cahaya, dengan demikian selalu dibutuhkan.[32]
Dalam konteks kekinian, Imam Khomeini membagi ilmu dari sisi kemanfaatannya menjadi tiga jenis ilmu, yakni: pertama, ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan tahap-tahap eksistensi manusia sebagai tujuan akhir penciptaan. Kedua, ilmu-ilmu yang merugikan manusia dan membuat manusia melalaikan kewajiban pokoknya. Ketiga, ilmu-ilmu yang tidak membawa madharat dan tidak pula membawa manfaat. Kebermanfaatan ilmu terkait erat dengan kegunaannya dalam mendukung evolusi kemanusiaan manusia menuju kesempurnaan dirinya. Sampai saat ini, manusia terus menerus berada dalam proses evolusi.[33]
Pemahaman dari kalimat  عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ pada hadis ini ditujukan sekaligus untuk laki-laki dan perempuan, meski tidak disebutkan secara eksplisit. Dengan demikian, Rasulullah juga berkeinginan untuk memperlakukan kaum perempuan bukan sebagai bawahan laki-laki, tetapi merupakan mitra sejajar yang dapat menghapuskan perasaan superior pada diri laki-laki dan perasaan inferior[34] pada pihak perempuan yang selama masa jahili telah membudaya, mentradisi dan mendarah daging.
Permasalahannya sekarang masih sering dijumpai orang yang berilmu tetapi justru membahayakan hidup dan tatanan masyarakat. Dalam konteks ini, Al-dzahabi menjelaskan bahwa meskipun orang yang memiliki ilmu dipandang memiliki derajat lebih tinggi dibanding sejumlah orang ahli ibadah, bukan berarti bahwa ia terbebas dari kewajiban dan tanggung jawabnya mengabdi kepada Allah SWT. Karena seorang intelek yang tidak beriman, akan dapat membawa kehancuran, baik bagi diri maupun sesamanya.[35]
Berkaitan dengan hadis tentang kewajiban menuntut ilmu menurut Muhammad Qutb, bukan hanya sekedar perintah wajib melainkan merupakan sarana ibadah dan taqarub ila Allah dengan senantiasa menemukan hakekat ilmu. Karenanya, ilmu dalam Islam diberikan, diambil dan dimuat dengan membawa ruh pengabdian semata serta digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat seperti halnya perbuatan fardhu lainnya yang merupakan sarana agar manusia senantiasa dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedang pengertian setiap muslim adalah mencakup laki-laki dan perempuan, Muhammad Athiyah Al Abrasyi berpendapat “Islam has made no distinction between girls and boy in motters of education”.[36]

C.    Hubungan dengan Ayat atau Hadits
Kata ilm ternyata memang banyak disebut, yaitu sebanyak 103 kali. Tetapi dengan kata jadiannya (mashdar), ia disebut tak kurang dari 744 kali. Diantara ayat Al quran yang sejalan dengan hadits tentang kewajiban menuntut ilmu ini adalah ayat yang menjelaskan tentang diangkatnya martabat yang berilmu[37], pentingnya pengembangan ilmu[38], dan ayat Alquran yang pertama kali diturunkan pun menunujukkan pada perintah mencari ilmu pengetahuan, yaitu dengan memerintahkan untuk membaca, sebagai kunci ilmu pengetahuan[39].
Hadits-hadits lain yang terkait dengan penafsiran nabi Muhammad SAW, sangat banyak. Diantara hadits tentang kewajiban menuntut ilmu  طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْئِ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِى الْبَحْر, pentingnya ilmu pengetahuan مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ. Selain itu, dijelaskan dalam hadits lain bahwa barang siapa menuntut ilmu akan dimudahkan jalannya menuju syurga مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

IV.             Penutup
A.    Kritik Praksis
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diungkapkan adanya implikasi penelitian bahwa hadits tersebut dapat dijadikan hujjah. Konsekuensi dari hal itu, diwajibkan bagi setiap muslim wajib menuntut ilmu. Yang dimaksud dengan menuntut ilmu untuk masa sekarang adalah menjalani pendidikan. Karena dengan pendidikan kita bisa mengenal diri kita. Tidak hanya itu, pendidikan juga merupakan ruh kehidupan yang akan menutun langkah kita dan memberi petunjuk arah, serta membangkitkan diri kita ketika kita terjatuh. Hadits “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan” ini begitu selaras dengan sebuah pribahasa yang mengatakan “Kalaulah bukan karena ilmu, maka manusia tak ubahnya seperti binatang”. Peribahasa ini di satu sisi mengungkapkan perbedaan antara manusia dan hewan dan di sisi lain merupakan sindiran bagi manusia untuk menuntut dan menguasai ilmu serta mengamalkannya, agar ia tidak dibodoh-bodohi dan tidak dikatakan seperti binatang.
Sebenarnya tujuan adanya pendidikan cukup sederhana, yaitu untuk membaca tentang kehidupan. Kita tahu di kehidupan ini tidak hanya kita yang hadir, akan tetapi masih banyak di sekitar kita yang senantiasa mengelilingi kehidupan kita, yang harus kita ketahui dan kita pahami. Itu semua adalah keanekaragaman kehidupan yang tidak mungkin terlepas dari kita. Oleh sebab itu, tidak ada alat yang canggih untuk membaca tentang semua itu kecuali dengan ilmu. Dengan demikian, jika kita telah mempunyai bekal yang diperoleh dari pendidikan, maka kita akan mampu membaca serta memahami tentang kehidupan ini. Sehingga kita mampu pula menata dan menentukan langkah kita ke mana kita akan mencari arah.

B.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang hadits menuntut ilmu diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Berdasarkan ketersambungan sanad, ketsiqohan (keadilan dan kedzabitan), dan tidak adanya syudzuz dan ‘Illat dalam sanad Ibnu Majah tersebut dalam kategori hadits hasan li ghoirihi karena dikuatkan oleh perawi yang terkenal dan dikuatkan oleh 2 syahid yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Abi Sa’id Alkhudriy, sehingga derajat hadits ini meningkat.
2.    Ditinjau dari segi matan ada perbedaan redaksi atau lafal dalam periwayatan hadits, karena kebanyakan periwayatan hadits dilakukan secara maknawi. Maka perbedaan lafal hadits menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam periwayatan hadits, sehingga hadits ini tidak terjadi syudzuz dan Illat disebabkan hanya ada penambahan kalimat yang sifatnya lebih menguatkan dari makna hadits tersebut. Hadits ini juga tidak bertentangan dengan Alquran.
3.    Dari berbagai definisi keilmuan menurut para ahli, definisi yang cocok dalam konteks kekinian adalah menurut Imam Khomeini. Imam Khomeini membagi ilmu dari sisi kemanfaatannya menjadi tiga jenis ilmu, yakni: pertama, ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan tahap-tahap eksistensi manusia sebagai tujuan akhir penciptaan. Kedua, ilmu-ilmu yang merugikan manusia dan membuat manusia melalaikan kewajiban pokoknya. Ketiga, ilmu-ilmu yang tidak membawa madharat dan tidak pula membawa manfaat. Kebermanfaatan ilmu terkait erat dengan kegunaannya dalam mendukung evolusi kemanusiaan manusia menuju kesempurnaan dirinya. Sampai saat ini, manusia terus menerus berada dalam proses evolusi.
4.    Setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan wajib menuntut ilmu. Setiap muslim tidak akan pernah keluar dari tanggungjawabnya untuk mencari ilmu serta tidak ada wilayah pengetahuan itu yang tercela dalam dirinya sendiri karena ilmu laksana cahaya. Hadis tentang kewajiban menuntut ilmu bukan hanya sekedar perintah wajib menuntut saja melainkan juga mengamalkan ilmu tersebut sesuai bidang dan kemampuannya.
5.    Hadis ini juga menjelaskan bahwa memberikan ilmu kepada yang bukan ahlinya merupakan perbuatan yang sia-sia dan hanya akan berakibat kehancuran. Hadis tentang kewajiban menuntut ilmu ini juga merupakan sarana ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan senantiasa menemukan hakikat ilmu yang sebenarnya. Karena seorang intelek yang tidak beriman akan dapat membawa kehancuran, baik bagi diri maupun sesamanya.



Daftar Pustaka

Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, Syihab al-Din Abu Fadl. 1985. Tahzib al-Tahzib, jilid 2, 11 (Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)
Ali, Atabik & Ahmad Zuhdi M. 1996. Kamus Al- Ashri, (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum)
Anas, Idhoh . 2009. Ilmu Shorof  Lengkap. (Pekalongan : Al-Asri Pekalongan)
Busyro, Muhtarom . 2010. Shorof  Praktis “Metode Krapyak”. (Yogyakarta : Putra Menara)
CD Software Maktabah Syamilah Versi 3. 51
Dosen Tafsir Hadits Fak.Ushuluddin UIN SUKA. 2003. Studi Kitab Hadits. (Yogyakarta: Teras)
Ghulsyani, Mahdi. 1990. Filsafat Sains Menurut Al qur’an. Bandung: Mizan
Ismail, Syuhudi. 2005. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah). (Jakarta: Bulan Bintang)
Khamdan, dkk. 2012. Studi Hadis Teori dan Metodologi (Kritik Terhadap Hadis-hadis Pendidikan), (Yogyakarta : Idea Press Yogyakarta)
Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis Tarbawi. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
Lidwa.com yang diakses pada tanggal 8 November pukul 13.51
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al Munawwir, (Yogyakarta : Pustaka Progressif)
Sumbulah, Umi. 2008. Kritik-Hadis; Pendekatan Historis Metodologis (Malang : UIN Malang Press)
Suryadilaga, M Alfatih. 2009. Aplikasi Penelitian Hadits dari Teks ke Konteks, (Yogyakarta:  Teras)
Suryadilaga, M Alfatih. 2009. Konsep Ilmu dalam Kitab Hadits. (Yogyakarta: Teras)
Yusuf al-Miziy, Jamal addin Abu al-Hajjaj. 1994. Tahzib al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, Jilid 7, 24,25 (Beirut: Dar al-Fikr)




[1] Umi Sumbulah, Kritik-Hadis; Pendekatan Historis Metodologis (Malang : UIN Malang Press, 2008), hlm. 192.
[2] Lidwa.com yang diakses pada tanggal 8 November pukul 13.51
[3] CD Software Maktabah Syamilah versi 3.51, At Tabrani , Mu’jam Al Kabir, Jilid 10, hlm. 195
[4] CD Software Maktabah Syamilah versi 3.51, Al Qadha’i, Musnad Asy Syihab, Jilid 1, hlm. 135
[5] M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits dari Teks ke Konteks, (Yogyakarta:  Teras, 2009). hlm. 29
[6] CD Software Maktabah Syamilah versi 3.51, Rowatu Tahdzib,hlm. 565
[7] CD Software Maktabah Syamilah versi 3.51, Jamal addin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Miziy, Tahzib al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, jilid 25, hlm. 344
[8] Jamal addin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Miziy, Tahzib al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, Jilid 25 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 344
[9] Jamal addin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Miziy, Tahzib al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, Jilid 24 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 123-124
[10] CD Software Maktabah Syamilah versi 3.51, Assuyuthy, Taqribu Tadzhib, Jilid 1, hlm.226
[11] Syihab al-Din Abu Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib, jilid 2 (Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), hlm 345
[12] Jamal addin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Miziy, Tahzib al-Kaml fi Asma’ al-Rijal, Jilid 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 10
[13] CD Software Maktabah Syamilah versi 3.51, Syihab al-Din Abu Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib, jilid 11, hlm. 46
[14] Syihab al-Din Abu Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib, jilid 11 (Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), hlm. 46
[15] Dosen Tafsir Hadits Fak.Ushuluddin UIN SUKA,  Studi Kitab Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2003),  hlm. 160
[16] Ibid, hlm 162
[17] Khamdan, dkk, Studi Hadis Teori dan Metodologi…hlm. 136
[18] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) hlm. 132
[19] Khamdan, dkk, Studi Hadis Teori dan Metodologi (Kritik Terhadap Hadis-hadis Pendidikan), (Yogyakarta : Idea Press Yogyakarta, 2012),  hlm.139.
[20] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997), hlm. 857.
[21] Atabik Ali & Ahmad Zuhdi M, Kamus Al- Ashri, (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum, 1996), hlm. 1236.
[22] Ahmad Warson Munawwir, Kamus…, hlm. 966.
[23] Atabik Ali & Ahmad Zuhdi M, Kamus,…hlm. 1314.
[24] Ibid, hlm. 1391.
[25] Idhoh Anas, Ilmu Shorof  Lengkap, (Pekalongan : Al-Asri Pekalongan, 2009), hlm.79.
[26] Muhtarom Busyro, Shorof  Praktis “Metode Krapyak”, (Yogyakarta : Putra Menara, 2010), hlm. 194.
[27] Ahmad Warson Munawwir, Kamus…, hlm. 656.
[28] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi ,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012). hlm. 142.
[29] Alfatih Suryadilaga, Konsep Ilmu dalam Kitab Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2009) hlm. 116
[30] Ibid, hlm. 116
[31] Khamdan, dkk, Studi Hadis Teori dan Metodologi..., hlm. 146
[32] Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al qur’an, (Bandung: Mizan, 1990)hlm. 43
[33] Alfatih Suryadilaga, Konsep Ilmu dalam Kitab ...,hlm. 118
[34] Untuk menyimak kasus perlakuan inferior bagi kaum hawa di masa jahili adalah pembunuhan dan penguburan anak-anak wanita hidup-hidup karena disaat itu, wanita dipandang sebagai aib dalam sebuah adat dan tatanan rumah tangga. Mengenai dasar-dasar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan ini antara lain dapat disimak dalam al quran surat alhujurat ayat 13.
[35] Umi Sumbulah, Kritik…, hlm.198-202.
[36] Khamdan, dkk, Studi…, hlm. 147.
[37] Al Mujadalah ayat 11
[38] Az Zumar ayat 9
[39] Al ALaq 1-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar