Jumat, 07 November 2014

Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa





  
A.    Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra yunani kuno hingga sekarang ini, telah banyak aliran filsafat yang bermunculan dengan kekhasannya masing-masing. Setiap aliran mempunyai metode yang dipakai dalam rangka memperoleh kebenaran yang akhirnya menimbulkan banyak pertentangan yang sengit diantara para penganut aliran filsafat tersebut. Dari berbagai metode aliran filsafat itu, tidak ada satupun yang luput dari kelemahan, sehingga pada umumya filsafat itu muncul merupakan bentuk reaksi terhadap aliran filsafat sebelumnya. Demikian pula halnya dengan filsafat analitika bahasa, kemunculannya ditengah kancah filsafat erat kaitannya dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya, terutama rasionalisme, empirisme, dan kritisismenya. Filsafat analitik itu merupakan reaksi terhadap idealisme, khususnya neo hegelianisme di Inggris.

B.     Teori Kebenaran
Sebelum mengetahui latar belakang filsafat analitika bahasa sebagai kegelisahan dan bentuk reaksi terhadap aliran filsafat sebelumnya sebaiknya kita sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunakan rasio dalam meyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran. Dalam mencari kebenaran manusia bersumber pada akal, indra, serta intuisi. Sedangkan tolak ukur kebenaran dapat disandarkan kepada beberapa teori kebenaran antara lain:[1]
1.      Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau informasi) akan diakui sahih/ dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.
2.      Korespondensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apabila proposisi bersesuaian dengan realitas menjadi objek pengetahuan itu. Sesuatu dianggap benar apabila apa yang diungkapkan sesuai dengan fakta dilapangan.
3.      Positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Pandangan ini menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah ”data-data yang nyata/ empirik”, atau yang mereka namakan positif.
4.      Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Artinya ide-ide itu belum dikatakan benar benar atau salah sebelum diuji.
5.      Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme berpendapat bahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa, spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual.
6.      Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan aspek power dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral dan tidak unya bias ataupun basis kekuasaan.
7.      Religiusisme memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-mata makhluk jasmaniyah, tetapi juga makhluk rohaniah. Oleh karena itu, muncullah teori religius ini yang kebenarannya secara ontologis dan aksiologis bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.

C.    Latar Belakang Filsafat Analitika Bahasa
Dalam sejarah perkembangan Filsafat barat diakui bahwa inggris merupakan tempat paling subur bagi perkembangan empirisisme. Empirisisme merupakan aliran filsafat yang menganggap bahwa pengalaman adalah hal yang paling dipercaya untuk mendapatkan kebenaran.  John Locke dan David Hume adalah tokohnya yang paling terkenal. Pengaruh pemikiran mereka telah mendominasi pemikiran filsafat di Inggris pada waktu itu.[2] Meskipun kubu Empirisisme bertentangan dengan kubu Rasionalisme, yaitu aliran filsafat yang menitikberatkan akal pada pencarian kebenaran. Lalu Immanuel kant memadukan kedua aliran tersebut. Namun pemikiran mereka tidak berhenti disitu, Positivisme Agus Comte yang berhasil mendorong lajunya ilmu pengetahuan yang masih berpegang erat pada pemikiran Empirisisme.
Namun pada abad ke 20, iklim filsafat di inggris mulai berubah. Para pemikir di inggris mulai meragukan apa yang dikatakan oleh kaum Hegelian (penganut Hegel). Para ahli pikir inggris menilai ungkapan filsafat idealisme bukan saja sulit untuk dipahami, tapi juga menyimpang jauh dari akal sehat. Oleh karena itu para ahli pikir inggris mulai melepaskan diri dari cengkraman filsafat idealisme. Tokoh pertama yang melancarkan kritikan pedas terhadap neohegelianisme adalah George Erdward Moore, seorang guru besar filsafat dan ahli filologi dari Universitas Cambridge. Meskipun ia secara nisbi sedikit menulis, namun ia mempunyai pengaruh  yang sangat besar di Inggris dan Amerika[3]. Kemudian disambut hangat oleh tokoh Cambridge lainnya yaitu Bertrand Russel, kemudain dilanjutkan oleh Wittgenstein.
Metode analisis bahasa yang ditampilkan oleh Wittgestein berhasil membentuk  pola pemikiran baru dalam dunia filsafat.  Dengan metode analisa bahasa itu, tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan tentang suatu hal yang khusus. Melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap bahasa logika. Ini berarti analisa bahasa mengkritik bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Metode analisa bahasa ini membawa aroma baru dalam dunia filsafat.
Para filosof analitik berpegangan pada metode analisa bahasa ini bermaksud membersihkan dan menyembuhkan pemakaian bahasa dalam filsafat. Sebab para filosof analitik menganggap bahasa filsafat itu mengandung banyak penyakit. Misalkan saja mengenai kekaburan arti, kemaknagandaan, ketidakterangan, dan lain lain. Oleh karena itu, perlu disusun satu kriteria logis yang dapat menentukan suatu istilah itu mengandung makna atau tidak. Dengan demikian kita tidak terjebak ke dalam perangkap filsafat yaitu: mencari jawaban terhadap suatu pertanyaan yang sesungguhnya tidak dapat diajukan.[4]

D.    Aliran dalam Filsafat Analitika Bahasa
1.      Atomisme Logis
a.      Atomisme Logis Betrand Russell
Bertrand Russell adalah seorang sarjana yang lahir dari lingkungan Universitas Cambridge Inggris. Ia banyak menulis tentang berbagai persoalan, diantaranya filsafat, politik, pendidikan, sejarah dan agama. [5] Untuk memahami konsep atomisme logis yang dikembangkan Russell terlebih dahulu marilah kita pahami tujuan filsafat menurut Russell. Ada tiga tujuan filsafat menurut Russell. Pertama, bahwa filsafat memiliki tujuan untuk mengembalikan seluruh ilmu pengerahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana. Kedua, menghubungkan logika dan matematika. Russell menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti dan jurusan satra tidak dapat dipisahkan. Karena menurutnya logika dan tata bahasa tidak hanya penting bagi bahasa, melainkan juga merupakan dasar bagi matematika. Ketiga, ialah analisis bahasa dengan tujuan mencari pengetahuan yang benar, dengan melakukan suatu analisis yang benar maka akan didapat pengetahuan yang benar pula mengenai realitas.[6]
Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan  analisis logis yang disertai dengan  sintesis logis tentang fakta-fakta. Analisis logis tentang fakta ialah pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi  apriori.  Kebenaran apriori menurut Russell sifatnya universal yang bersumber dari rasio manusia. Sedangkan yang dimaksud sintesis logis adalah upaya untuk memperoleh kebenaran melalui pengamatan empiris (pengalaman indera). Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa formulasi logis itu bukan hanya berdasarkan logika formal saja, melainkan didukung oleh suatu fakta yaitu  sintesa logis dari fakta. Dari sisi inilah tampak jika Russell dipengaruhi oleh paham empirisme dan berusaha membangun corak pemikiran filsafat melalui analisa bahasa dengan  scientific methode.
Menurut Russel dengan bahasa logika ia menyusun teori atomisme logis, Atomisme logis ini adalah suatu paham atau ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomic atau elementer, melalui teknis analisis logis atau bahasa. Setiap proposisi atomic mengacu pada bagian terkecil dari realitas.[7] Dengan pandangan demikian itu, kaum atomisme logis bermaksud menunjukan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa dan realitas.
Setelah bertitik tolak dari bahasa logika, selanjutnya Russel menentukan apa yang disebut dengan “corak logis” yang terkandung dalam suatu ungkapan atau proposisi.[8] Menurut Russel dalam dua kalimat yang strukturnya sama akan memiliki struktur logis yang berbeda, karena setiap kata dalam kalimat memiliki fungsi logis yang berbeda pula. Kita ambil sebuah gambaran, Socrates dan Aristoteles memiliki corak yang sama, sebab Socrates adalah seorang filosof dan Aristoteles adalah seorang filosof, keduanya mengandung fakta yang sama, yaitu sama-sama seorang filosof.[9] Dengan memahami corak logis yang terkandung dalam ungkapan, kita dapat membedakan antara bentuk tata bahasa dengan bentuk sintaksis dari sebuah kalimat.[10]
Berdasarkan konsep bahasa logika dan corak logis itu, Russell menjelaskan tentang kesepadanan (isomorfi) antara dunia bahasa dan dunia realita, atau antara struktur bahasa dan struktur masyarakat. Bagi Russel seluruh pengetahuan akan dapat dimengerti apabila diungkapkan dalam bentuk bahasa logika.[11] Jika sebuah proposisi majemuk mengandung kebenaran karena didukung oleh proposisi-proposisi atomis yang juga benar, maka proposisi majemuk tersebut sepadan dengan realitas. Namun tentu saja, proposisi atomis tersebut harus benar-benar menggambarkan realitas dunia.
Kedua proposisi atomik itu membentuk proposisi majemuk setelah dihubungkan dengan kata “yang”. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan tetap konsisten terhadap teori atomismenya itu, Russel juga harus mengakui adanya suatu proposisi yang tidak bergantung pada adanya proposisi atomis. Prinsip-prinsip atomisme logis dari Russell itu selanjutnya dikembangkan lebih lanjut oleh Ludwig Wittgenstein.

b.      Konsep Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein adalah seorang filsuf berkebangsaan Austria, dan pernah menjadi murid Bertrand Russell, sehingga tidaklah mengherankan jika pemikiran Russell meninggalkan jejak di pemikiran filsafat Wittgenstein. Selain oleh Russell, pemikiran Wittgenstein juga dipengaruhi oleh konsep G.E Moore dan Gottlob Frege.[12] Dalam karya pertamanya berjudul Tractacus Logico-Philosophicus yang ditulis pada tahun 1922, ia mengajukan teori yang disebut picture theory. Inti dari teori “gambar” adalah bahwa makna = gambar atau meaning is picture.[13]
Menurut Wittgenstein hakikat bahasa merupakan gambaran logis realitas dunia.  Hakikat dunia merupakan keseluruhan fakta-fakta dan bukannya benda-benda, dan dunia  terbagi menjadi fakta-fakta. Adapun fakta merupakan  states of affairs, yaitu suatu keberadaan peristiwa. Satuan bahasa yang menggambarkan dunia tersebut merupakan suatu proposisi proposisi yang bersifat kompleks dan tidak terbatas. Proposisi itu tersusun atas proposisi yang paling kecil (proposisi elementer/atomis) yang menggambarkan satu fakta atomis. Totalitas dari proposisi adalah bahasa yang menggambarkan realitas dunia. Gambaran tersebut merupakan gambaran logis dan bentuk pictorial dari realitas yang diwakilinya.[14]
Teori gambar adalah suatu pandangan yang menganggap adanya hubungan mutlak antara bahasa dengan realitas atau dunia fakta. Menurut Wittgenstein unsur mutlak yang diperlukan untuk mendukung sebuah ungkapan yang bermakan adalah suatu bentuk peristiwa atau suatu keadaan faktual. Menurutnya, sebuah proposisi harus bisa menunjukan pengertian tertentu tentang realitas, sehingga seseorang seseorang yang dihadapkan dalam posisi sepert itu tinggal menjawab Ya atau Tidak untuk menyetujui realitas yang dikandungnya. Oleh karena itu, ungkapan dalam filsafat terdahulu tidak dapat dikatakan sebagai proposisi, karena tidak mencerminkan realitas apapun. Dalam pengertian Wittgenstein, proposisi terletak dalam situasi yang digambarkan atau dihadirkan didalamnya.[15]
Teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas. Kita bisa menganalogikan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai dengan unsur-unsur gambar dengan dunia fakta. Cara itu  dilakukan dengan menggabungkan bagian bagian proposisi. Unsur gambar adalah alat dalam bahasa. Seperti kata dan kalimat, sedangkan unsur realitas adalah suatu keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian ada dua faktor yang mendukung teori gambar. Yaitu proposi yang merupakan alat dalam bahasa filsafat dan fakta yang ada dalam realitas.

c.       Positivisme Logis
Pada tahun 1922 berkembanglah suatu gerakan filsafat baru yang dirintis oleh seorang fisikus sekaligus seorang filsuf bernama Moritz Schlik (1882-1936). Gerakan filsafat baru ini berpusat di Wina, yaitu suatu kota yang sekaligus sebagai pusat kelompok ilmuwan yang terkenal dengan nama Vienna Circle atau dikenal juga mazhab Wina (Kring Wina).[16] Aliran ini secara nyata dipengaruhi oleh pemikiran Moore dan atomisme logis (Russel dan Wittgenstein), terutama dalam penerapan teknik analisis bahasa.
Tokoh utama positivisme logis adalah Alfred Jules Ayer dengan karyanya yang terkenal Language, Truth, and Logis. Ia melanjutkan tradisi empiris inggris terutama Hume dan analisis Russel. Aliran ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah.[17]
Salah satu yang paling menonjol dari positivisme logis adalah penolakannya terhadap filsafat tradisional. Menurut positivisme logis, filsafat tradisional menyajikan banyak ungkapan  yang melebihi tautologi tetapi langsung tidak dapat diamati  atau dibuktikan kebenarannya. Setiap proposisi biarpun berpretensi mengungkapkan kebenaran, namun sesuatu yang tak dapat dicek kebenarannya adalah sia-sia[18].
Positivisme logis yang konsep-konsep dasarnya sangat diwarnai oleh logika, matematika, serta ilmu pengetahuan alam yang bersifat positif dan empiris, maka sudah dapat dipastikan bahwa analisis logis tentang pernyataan-pernyataan ilmiah maupun pernyataan filsafat sangat ditentukan oleh metode ilmu pengetahuan positif dan empiris tersebut. Dalam pengertian inilah maka positivime logis mengembangkan prinsip verifikasi. Menurut madzhab yang berpusat di wina ini bahwa suatu ungkapan atau proposisi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Memverifikasi berarti menguji, membuktikan secara empiris. Setiap ilmu pengetahuan dan filsafat senantiasa memiliki suatu pernyataan-pernyataan  baik berupa aksioma, teori atau dalil hal itu dianggap memiliki makna bilamana secara prinsip dapat diverifikasi.[19]
Menurut Ayer prinsip verifikasi sebagaimana yang diajukan oleh Sclick itu merupakan verifikasi dalam arti yang ketat yaitu sejauh kebenaran suatu pernyataan itu didukung pengalaman secara meyakinkan. Adapun verifikasi dalam arti lunak, yaitu sejauh proposisi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau merupakan pengalaman yang memungkinkan.[20]
Terdapat dua macam proposisi menurut positivisme logis yaitu[21]  Proposisi empiris yaitu proposisi faktual yang dapat diverifikasi secara empiris dan proposisi formal (proposisi analitis) yaitu proposisi yang kebenarannya tidak memerlukan verifikasi secara empiris. Apa yang dimaksudkan Ayer dengan proposisi analitik ini yaitu proposisi yang benar melalui pembatasan, tidak didasarkan pada pengalaman melainkan berdasarkan pada “a priori”, mengandung kepastian dan keniscayaan yaitu yang dinamakan “tautologi”, mengandung makna sejauh proposisi yang beresangkutan didasarkan pada istilah yang pasti jadi maknanya terletak pada bahasa atau ungkapan verbal.[22]
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern, konsep proposisi menurut positivisme logis ini menjadi kata kunci untuk mendapatkan suatu kebenaran ilmiah yang objektif. Persoalannya adalah ilmu pengetahuan itu beraneka ragam corak dan sifatnya baik berdasarkan objek formal maupun materialnya. Oleh karena itu akan timbul suatu persoalan yang semakin rumit bagi ilmu pengetahuan yang bersifat kualitatif.

2.      Filsafat Bahasa Biasa
a.      Ludwig Wittgenstein II: Meaning is Use
You can not step twice  into the same river, for the fresh waters are ever flowing upon you”. Demikian ungkapan Heraklitus, maksudnya semua yang ada didunia ini senantiasa berubah. Perubahan adalah abadi sepanjang masa. Yang berubah itu bukan hanya alam, tapi juga pikiran manusia. Kasus ini seperti yang terjadi pada Wittgenstein. Sebelumnya pemikiran Wittgenstein berpijak pada atomisme logis dan positivisme logis. Setelah menetap beberapa tahun dinegeri asalnya, pendapatnya mulai berubah dari apa yang telah diuraikan dalam bukunya Tractatus. Ia mulai meninggalkan atomisme logis dan positivism logis. Walapun begitu, bahasa tetap menjadi perhatian Wittgenstein. Pada periode Tractatus, Wittgenstein berpendapat bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang menpunyai arti, meaning is picture artinya bahasa akan berarti jika dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan faktual.[23]
Pemikiran Wittgenstein yang semula menganggap bahwa bahasa biasa tidak mencukupi untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran filosofis, kini justru bergeser pada keyakinan kalau bahasa sehari-sehari memadai untuk melakukan hal itu. Inti pemikiran Wittgenstein periode kedua adalah “tata permainan bahasa” (Language Games). Hakikat bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia. Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan satu bahasa tertentu yang memiliki  aturan penggunaan tertentu yang berbeda dengan konteks penggunaan lainnya. Singkatnya setiap konteks kehidupan memiliki aturan penggunaan bahasa yang berbeda-beda. Wittgensein  berkesimpulan bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah  kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam  berbagai konteks kehidupan manusia.[24]
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kita acap kali menjumpai kata atau ungkapan yang sama yang dipergunakan dalam pelbagai bentuk permainan bahasa.[25] Sebagai contoh, kata al khobar dalam bahasa arab itu mengandung arti yang berbeda dalam penggunannya. Jika dipergunakan dalam ahli hadits maka mengandung arti sebagai berita yang dituturkan Nabi, makna ini berlainan dengan yang dimaksud oleh ilmu nahwu, al khobar adalah pokok kalimat, predikat dari sebuah subjek. Sedangkan menurut ahli ilmu Mantiq dan ahli semantika, kata khobar mengandung arti sebagai sesuatu yang mengandung nilai benar dan salah.
Hal itu berarti makna kata tergantung dari situasi, tempat dan waktu digunakannya kata-kata tersebut dalam kalimat. Kekacauan dalam pemakaian bahasa, menurut Wittgenstein, disebabkan oleh ketidaktepatan (kekeliruan) penerapan aturan (tata permainan bahasa) dalam sebuah konteks tertentu. Hal ini dapat dianalogikan dengan berbagai bentuk permainan (game) yang masing-masing memiliki aturan (rule) masing-masing. Kekacauan akan timbul manakala aturan pada sebuah permainan diterapkan pada permainan yang bukan seharusnya.
Setelah melihat uraian mengenai “language games”, jelaslah bahwa filsafat analitik mengalami perkembangan dan perubahan orientasi, terutama pada Wittgenstein. Aliran filsafat analitik tidak lagi berkembang di Universitas Cambridge, tapi setelah periode ini berkembang di Oxford.

b.      Aliran Oxford : Ordinary Language Philosophy
Seperti telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, bahwa setelah perang dunia kedua filsafat analitik diminati pula oleh kalangan akademisi dari Oxford. Beberapa tokoh dari aliran ini adalah G.Ryle, J. Wisdom, J. Austin, R.B Braithwaite, A. Flew, J. Searle, P. Strawon, SE Toulmin, J. Urmson, dan G. Warnock. Kelompok Oxford itu menggunakan metode Wittgenstein untuk menyelidiki macam-macam jenis bahasa. John Austin menyelidiki perbedaan antara constative utterance dan performative utterance. Atau seperti G. Ryle yang sibuk dengan penyelidikannya disekitar konsep-konsep yang menyangkut hidup psikis dengan category mistakenya yaitu kekeliruan kategori yang sering muncul dalam suatu penggunaan bahasa. Ciri umum filsafat analitik yang berpusat di Oxford, sebagaimana telah diikhtisarkan K. Bertens, berikut ini:
·         Pertanyaan utama yang diajukan oleh mereka adalah tentang cara bagaimana kata-kata dipakai. Filsafat harus mempelajari pemakaian bahasa yang konkret. Kalau tidak filsafat tidak akan berbicara tentang bahasa menurut keadaan yang sesungguhnya.
·         Ucapan-ucapan mempunyai lebih banyak fungsi daripada satu fungsi saja dan karena itu bermakna lebih banyak cara dari pada satu saja.
·         Dibidang filsafat terdapat banyak kekeliruan yang berasal dari category mistake. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam tata bahasa atau buku-buku logika belum cukup untuk mencapai tujuan itu dan karenanya penyelidikan filosofis ini sangat perlu.[26]
Sebagai pelengkap dari ikhtisar yang dijelaskan oleh Bertrens tersebut, maka dianggap perlu untuk menjelaskan beberapa istilah penting dari filsafat analitik aliran”Ordinary Langage Philosophy”. Beberapa istilah itu adalah:
·         Category mistake, menurut Ryle kekeliruan pokok yang sering terjadi dalam filsafat adalah kekeliruan kategori. Kekeliruan terjadi dalam penggunaan bahasa dalam melukiskan fakta-fakta yang termasuk kategori satu dengan menggunakan ciri-ciri logis yang menandakan kategori lain. Menurut Ryle dalam filsafat penggunaan bahasa sehari-hari juga terjadi kekeliruan kategori sehingga persoalan filsafat seringkali timbul karena kekeliruan tersebut. Dengan maksud memperlihatkan secara kongkrit bagaimana para filsuf mencampuradukan kategori-kategori yang berlainan. Ryle membedakan pelbagai jenis kata, mislanya menurutnya perlu dibedakan kata-kata yang menunjuk pada sautu disposisi dengan kata-kata yang menunjuk pada suatu peristiwa. Suatu ungkapan ”ia tidak merokok” dapat dipakai dalam dua arti yaitu menunjukan disposisi bahwa (ia sudah biasa tidak merokok) atau menunjuk suatu kejadian kongkrit ( ia sekarang tidak merokok)[27]. Dengan cara ini maka kita bisa menentukan makna dari suatu kalimat yang diungkapkan.
·         Task Verb dan Achievment Verb, yaitu kata kerja yang mengacu pada suatu tugas dan kata kerja yang mengacu pada tujuan atau hasil yang akan dicapai.[28] Dalam bentuk kalimat, G. Ryle mencontohkan dalam ungkapan ”seorang atlet lari seratus meter, dan ia menang”. Kata kerja ”lari” adalah task verb, sedangkan “menang” adalah Achievment Verb. Atlet tersebut tidak melakukan dua pekerjaan, yaitu lari dan menang, tapi ia hanya melakukan satu pekerjaan yaitu berlari yang menghasilkan kemenangan.
·         Ucapan konstatif dan ucapan performatif dari John Langshaw Austin. Ucapan konstatif adalah ucapan yang melukiskan suatu keadaan faktual. Karena itu kebenaran dan ketidakbenarannya dapat dibuktikan secara verifikatif. Contoh dari ucapan ini adalah” banyak pedagang mainan anak-anak dipasar sekaten”. Sedangkan ucapan performatif adalah  suatu ucapan yang tidak melukiskan keadaan faktual, dan karena itu tidak dapat dibuktikan kebenaran dan ketidakkebenarannya. Ucapan ini hanya bersandar pada happy dan unhappy, layak atau tidak layak. Contoh,”saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri yang sah.[29]
·         Speech acts atau tindakan-tindakan bahasa. Maksudnya bahwa ketika kita mengucapkan sesuatu berarti kita juga melakukan sesuatu itu. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dapat memainkan peranan jika kita mengungkap suatu kalimat. Menurut Austin tindakan bahasa dibedakan menjadi tiga macam yaitu:[30]
·         Locutionary acts, yaitu suatu tindakan bahasa untuk mengatakan sesuatu, yaitu suatu tindak untuk menyampaikan suatu makna tertentu.
·         Illocutionary acts, yaitu merupakan suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu, “in saying”, dengan menggunakan suatu daya tertentu yang membuat si penutur bertindak dan berlaku karena yang diucapkan
·         Perlocutionary acts, yaitu suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu dengan maksud untuk menimbulkan suatu efek, reaksi, pikiran atau tindakan bagi yang mendengar atau orang kedua yang diajak bicara.
 Selanjutnya perkembangan filsafat analitika bahasa dapat dirangkum dalam sebuah diagram sebagai berikut :





E.     Kesimpulan
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa tersebut menjadi populer pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa. Adapun aliran-aliran analitik bahasa yang pertama adalah atomisme logis, yang kedua positivisme logis dan yang ketiga  filsafat bahasa biasa (the ordinary language philosophy). Dalam memahami bahasa, aliran atomisme logis dan positivisme logis, menganggap bahwa bahasa logika lebih sesuai bagi maksud-maksud filsafat. Sedangkan penganut aliran filsafat biasa menganggap bahwa bahasa biasa cukup memadai bagi maksud-maksud filsafat.
































[1] Muhammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 121-125
[2] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik (sejarah, perkembangan, dan peranan para tokohnya), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 6
[3]  Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa (mengungkap hakikat bahasa, makna, dan tanda), (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm 45
[4] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…. hlm 8
[5] Kaelan, M.S,  Filsafat Bahasa, (Yogyakarta: Paradigma, 2002)hlm. 86
[6] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa ….hlm. 48
[7] Ibid, hlm. 45
[8] Proposisi atau dalam ilmu mantiq disebut dengan khobar adalah suatu pernyataan yang mengandung nilai benar atau salah.
[9] Kaelan, M.S,  Filsafat bahasa…, hlm.  97
[10] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik… hlm. 50
[11] Ibid…hlm. 53
[12] Kaelan, M.S,  Filsafat bahasa… hlm, 135
[13] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa ….hlm, 55-56
[14] Kaelan, M.S,  Filsafat bahasa… hlm 135-136
[15] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa …hlm. 56
[16]Kaelan, M.S,  Filsafat bahasa…, hlm. 121
[17] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2008) hlm. 28
[18] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa …hlm. 64
[19] Kaelan, M.S,  Filsafat bahasa…, hlm.  125
[20] Ibid, hlm. 127
[21] Kaelan, M.S,  Filsafat bahasa…, hlm. 128
[22] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…. hlm 85
[23] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa …hlm. 72
[24] Kaelan, M.S,  Filsafat bahasa…, hlm 136
[25] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…. Hlm. 105
[26] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa …hlm. 79
[27] Kaelan, M.S,  Filsafat bahasa…, hlm.  156
[28] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa …hlm. 83
[29] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…. Hlm. 127
[30] Kaelan, M.S,  Filsafat bahasa…, hlm.  169

Tidak ada komentar:

Posting Komentar