A.
Pendahuluan
Dalam sejarah
perkembangan filsafat
sejak zaman pra yunani kuno hingga sekarang ini, telah banyak aliran filsafat
yang bermunculan dengan kekhasannya masing-masing. Setiap aliran mempunyai
metode yang dipakai dalam rangka memperoleh kebenaran yang akhirnya menimbulkan
banyak pertentangan yang sengit diantara para penganut aliran filsafat
tersebut. Dari berbagai metode aliran filsafat itu, tidak ada satupun yang
luput dari kelemahan, sehingga pada umumya filsafat itu muncul merupakan bentuk
reaksi terhadap aliran filsafat sebelumnya. Demikian pula halnya dengan
filsafat analitika bahasa, kemunculannya ditengah kancah filsafat erat
kaitannya dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya, terutama rasionalisme,
empirisme, dan kritisismenya. Filsafat analitik itu merupakan reaksi terhadap
idealisme, khususnya neo hegelianisme di Inggris.
B.
Teori
Kebenaran
Sebelum
mengetahui latar belakang filsafat analitika bahasa sebagai kegelisahan dan
bentuk reaksi terhadap aliran filsafat sebelumnya sebaiknya kita sebagai
makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk
eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Filsafat dipahami
sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunakan rasio dalam meyelidiki
suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran.
Dalam mencari kebenaran manusia bersumber pada akal, indra, serta intuisi.
Sedangkan tolak ukur kebenaran dapat disandarkan kepada beberapa teori
kebenaran antara lain:[1]
1.
Koherensi merupakan teori kebenaran
yang menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat,
kejadian, atau informasi) akan diakui sahih/ dianggap benar apabila memiliki
hubungan dengan gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat
dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.
2.
Korespondensi merupakan teori
kebenaran yang menegaskan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apabila proposisi
bersesuaian dengan realitas menjadi objek pengetahuan itu. Sesuatu dianggap
benar apabila apa yang diungkapkan sesuai dengan fakta dilapangan.
3.
Positivisme adalah cara pandang
dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Pandangan ini menganggap bahwa
yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah ”data-data yang nyata/ empirik”,
atau yang mereka namakan positif.
4.
Pragmatisme merupakan teori
kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya
suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Artinya ide-ide itu
belum dikatakan benar benar atau salah sebelum diuji.
5.
Esensialisme adalah pendidikan yang
didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
umat manusia. Esensialisme berpendapat bahwa alam semesta itu pada hakikatnya
adalah jiwa, spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti
spiritual.
6.
Konstruktivisme didefinisikan
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu
makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan
aspek power dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral
dan tidak unya bias ataupun basis kekuasaan.
7.
Religiusisme memaparkan bahwa
manusia bukanlah semata-mata makhluk jasmaniyah, tetapi juga makhluk rohaniah.
Oleh karena itu, muncullah teori religius ini yang kebenarannya secara
ontologis dan aksiologis bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui
wahyu.
C.
Latar Belakang
Filsafat Analitika Bahasa
Dalam
sejarah perkembangan Filsafat barat diakui bahwa inggris merupakan tempat
paling subur bagi perkembangan empirisisme. Empirisisme merupakan aliran
filsafat yang menganggap bahwa pengalaman adalah hal yang paling dipercaya
untuk mendapatkan kebenaran. John Locke
dan David Hume adalah tokohnya yang paling terkenal. Pengaruh pemikiran mereka
telah mendominasi pemikiran filsafat di Inggris pada waktu itu.[2] Meskipun kubu Empirisisme bertentangan dengan kubu Rasionalisme, yaitu
aliran filsafat yang menitikberatkan akal pada pencarian kebenaran. Lalu Immanuel kant
memadukan kedua aliran tersebut. Namun pemikiran mereka tidak berhenti disitu,
Positivisme Agus Comte yang berhasil mendorong lajunya ilmu pengetahuan yang
masih berpegang erat pada pemikiran Empirisisme.
Namun pada
abad ke 20, iklim filsafat di inggris mulai berubah. Para pemikir di inggris mulai meragukan
apa yang dikatakan oleh kaum Hegelian (penganut Hegel). Para ahli pikir
inggris menilai ungkapan filsafat idealisme bukan saja sulit untuk dipahami, tapi juga menyimpang jauh dari akal
sehat. Oleh karena itu para ahli pikir inggris mulai melepaskan diri dari cengkraman filsafat idealisme. Tokoh pertama yang melancarkan kritikan pedas
terhadap neohegelianisme adalah George Erdward Moore, seorang guru besar
filsafat dan ahli filologi dari Universitas Cambridge. Meskipun ia secara nisbi
sedikit menulis, namun ia mempunyai pengaruh
yang sangat besar di Inggris dan Amerika[3].
Kemudian disambut hangat oleh tokoh Cambridge lainnya yaitu Bertrand Russel,
kemudain dilanjutkan oleh Wittgenstein.
Metode
analisis bahasa yang ditampilkan oleh Wittgestein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat.
Dengan metode analisa bahasa itu, tugas filsafat bukanlah membuat
pernyataan tentang suatu hal yang khusus. Melainkan memecahkan persoalan yang
timbul akibat ketidakpahaman terhadap bahasa logika. Ini berarti analisa bahasa
mengkritik bahasa yang dipergunakan dalam filsafat.
Metode analisa bahasa ini membawa aroma baru dalam dunia filsafat.
Para
filosof analitik berpegangan pada metode analisa bahasa ini bermaksud
membersihkan dan menyembuhkan pemakaian bahasa dalam filsafat. Sebab para
filosof analitik menganggap bahasa filsafat itu mengandung banyak penyakit.
Misalkan saja mengenai kekaburan arti, kemaknagandaan, ketidakterangan, dan
lain lain. Oleh karena itu, perlu disusun satu kriteria
logis yang dapat menentukan suatu istilah itu mengandung makna atau tidak.
Dengan demikian kita tidak terjebak ke dalam perangkap filsafat yaitu: mencari
jawaban terhadap suatu pertanyaan yang sesungguhnya tidak dapat diajukan.[4]
D.
Aliran dalam
Filsafat Analitika Bahasa
1.
Atomisme Logis
a.
Atomisme Logis
Betrand Russell
Bertrand Russell adalah seorang sarjana yang lahir dari lingkungan
Universitas Cambridge Inggris. Ia banyak menulis tentang berbagai persoalan,
diantaranya filsafat, politik, pendidikan, sejarah dan agama. [5] Untuk memahami konsep atomisme logis yang dikembangkan Russell terlebih
dahulu marilah kita pahami tujuan filsafat menurut Russell. Ada tiga tujuan
filsafat menurut Russell. Pertama, bahwa filsafat memiliki tujuan untuk
mengembalikan seluruh ilmu pengerahuan kepada bahasa yang paling padat dan
sederhana. Kedua, menghubungkan logika dan matematika. Russell menghendaki
dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti dan jurusan satra tidak dapat dipisahkan. Karena menurutnya logika dan tata bahasa tidak
hanya penting bagi bahasa, melainkan juga merupakan dasar bagi matematika.
Ketiga, ialah analisis bahasa dengan tujuan mencari pengetahuan yang benar,
dengan melakukan suatu analisis yang benar maka akan didapat pengetahuan yang
benar pula mengenai realitas.[6]
Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan analisis logis yang disertai dengan sintesis logis tentang fakta-fakta. Analisis
logis tentang fakta ialah pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk
mendapatkan argumentasi apriori. Kebenaran apriori menurut Russell sifatnya
universal yang bersumber dari rasio manusia. Sedangkan yang dimaksud sintesis
logis adalah upaya untuk memperoleh kebenaran melalui pengamatan empiris
(pengalaman indera). Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
formulasi logis itu bukan hanya berdasarkan logika formal saja, melainkan
didukung oleh suatu fakta yaitu sintesa
logis dari fakta. Dari sisi inilah tampak jika Russell dipengaruhi oleh paham empirisme
dan berusaha membangun corak pemikiran filsafat melalui analisa bahasa
dengan scientific methode.
Menurut Russel
dengan bahasa logika ia menyusun
teori atomisme logis, Atomisme logis ini adalah suatu paham atau ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah
menjadi proposisi-proposisi atomic atau elementer, melalui teknis analisis
logis atau bahasa. Setiap proposisi atomic mengacu pada bagian terkecil dari
realitas.[7]
Dengan pandangan demikian itu, kaum atomisme logis bermaksud menunjukan adanya
hubungan yang mutlak antara bahasa dan realitas.
Setelah
bertitik tolak dari bahasa logika, selanjutnya Russel menentukan apa yang
disebut dengan “corak logis” yang terkandung dalam suatu ungkapan atau
proposisi.[8] Menurut Russel dalam dua kalimat yang strukturnya sama akan memiliki
struktur logis yang berbeda, karena setiap kata dalam kalimat memiliki fungsi
logis yang berbeda pula. Kita ambil sebuah gambaran, Socrates dan Aristoteles
memiliki corak yang sama, sebab Socrates adalah seorang filosof dan Aristoteles
adalah seorang filosof, keduanya mengandung fakta yang sama, yaitu sama-sama
seorang filosof.[9] Dengan memahami corak logis yang terkandung dalam ungkapan, kita dapat
membedakan antara bentuk tata bahasa dengan bentuk sintaksis dari sebuah
kalimat.[10]
Berdasarkan
konsep bahasa logika dan corak logis itu, Russell menjelaskan tentang
kesepadanan (isomorfi) antara dunia
bahasa dan dunia realita, atau antara struktur bahasa dan struktur masyarakat. Bagi Russel seluruh pengetahuan akan dapat dimengerti apabila
diungkapkan dalam bentuk bahasa logika.[11]
Jika sebuah proposisi majemuk mengandung kebenaran karena
didukung oleh proposisi-proposisi atomis yang juga benar, maka proposisi
majemuk tersebut sepadan dengan realitas. Namun tentu saja, proposisi atomis
tersebut harus benar-benar menggambarkan realitas dunia.
Kedua proposisi atomik itu membentuk proposisi majemuk setelah
dihubungkan dengan kata “yang”. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan tetap
konsisten terhadap teori atomismenya itu, Russel juga harus mengakui adanya
suatu proposisi yang tidak bergantung pada adanya proposisi atomis.
Prinsip-prinsip atomisme logis dari Russell itu selanjutnya dikembangkan lebih
lanjut oleh Ludwig Wittgenstein.
b.
Konsep
Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein adalah seorang filsuf
berkebangsaan Austria, dan pernah menjadi murid Bertrand Russell, sehingga
tidaklah mengherankan jika pemikiran Russell meninggalkan jejak di pemikiran
filsafat Wittgenstein. Selain oleh Russell, pemikiran Wittgenstein juga
dipengaruhi oleh konsep G.E Moore dan Gottlob Frege.[12] Dalam karya pertamanya berjudul Tractacus Logico-Philosophicus yang
ditulis pada tahun 1922, ia mengajukan teori yang disebut picture theory. Inti
dari teori “gambar” adalah bahwa makna = gambar atau meaning is picture.[13]
Menurut Wittgenstein hakikat bahasa merupakan gambaran
logis realitas dunia. Hakikat dunia
merupakan keseluruhan fakta-fakta dan bukannya benda-benda, dan dunia terbagi menjadi fakta-fakta. Adapun fakta
merupakan states of affairs,
yaitu suatu keberadaan peristiwa. Satuan bahasa yang menggambarkan dunia
tersebut merupakan suatu proposisi proposisi yang bersifat kompleks dan tidak
terbatas. Proposisi itu tersusun atas proposisi yang paling kecil (proposisi
elementer/atomis) yang menggambarkan satu fakta atomis. Totalitas dari
proposisi adalah bahasa yang menggambarkan realitas dunia. Gambaran tersebut
merupakan gambaran logis dan bentuk pictorial dari realitas yang diwakilinya.[14]
Teori gambar adalah suatu pandangan yang menganggap adanya hubungan
mutlak antara bahasa dengan realitas atau dunia fakta. Menurut Wittgenstein
unsur mutlak yang diperlukan untuk mendukung sebuah ungkapan yang bermakan
adalah suatu bentuk peristiwa atau suatu keadaan faktual. Menurutnya, sebuah proposisi harus bisa menunjukan pengertian
tertentu tentang realitas, sehingga seseorang seseorang yang dihadapkan dalam
posisi sepert itu tinggal menjawab Ya atau Tidak untuk menyetujui realitas yang
dikandungnya. Oleh karena itu, ungkapan dalam filsafat terdahulu tidak dapat
dikatakan sebagai proposisi, karena tidak mencerminkan realitas apapun. Dalam
pengertian Wittgenstein, proposisi terletak dalam situasi yang digambarkan atau
dihadirkan didalamnya.[15]
Teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan
sesuatu dalam realitas. Kita bisa menganalogikan bahwa proposisi itu berfungsi
seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai dengan unsur-unsur gambar
dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan
dengan menggabungkan bagian bagian proposisi. Unsur gambar adalah alat dalam
bahasa. Seperti kata dan kalimat, sedangkan unsur realitas adalah suatu keadaan
faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian ada
dua faktor yang mendukung teori gambar. Yaitu proposi yang merupakan alat dalam
bahasa filsafat dan fakta yang ada dalam realitas.
c.
Positivisme Logis
Pada tahun 1922 berkembanglah suatu gerakan filsafat baru yang dirintis
oleh seorang fisikus sekaligus seorang filsuf bernama Moritz Schlik
(1882-1936). Gerakan filsafat baru ini berpusat di Wina, yaitu suatu kota yang
sekaligus sebagai pusat kelompok ilmuwan yang terkenal dengan nama Vienna Circle atau dikenal juga mazhab
Wina (Kring Wina).[16] Aliran ini secara nyata dipengaruhi oleh pemikiran Moore dan atomisme
logis (Russel dan Wittgenstein), terutama dalam penerapan teknik analisis
bahasa.
Tokoh utama positivisme logis adalah Alfred Jules Ayer dengan karyanya
yang terkenal Language, Truth, and Logis. Ia melanjutkan tradisi empiris
inggris terutama Hume dan analisis Russel. Aliran ini lebih menaruh perhatian
pada upaya menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah.[17]
Salah satu yang paling menonjol dari positivisme logis adalah
penolakannya terhadap filsafat tradisional. Menurut positivisme logis, filsafat
tradisional menyajikan banyak ungkapan
yang melebihi tautologi tetapi langsung tidak dapat diamati atau dibuktikan kebenarannya. Setiap
proposisi biarpun berpretensi mengungkapkan kebenaran, namun sesuatu yang tak dapat dicek kebenarannya adalah sia-sia[18].
Positivisme
logis yang konsep-konsep dasarnya sangat diwarnai oleh logika, matematika,
serta ilmu pengetahuan alam yang bersifat positif dan empiris, maka sudah dapat
dipastikan bahwa analisis logis tentang
pernyataan-pernyataan ilmiah maupun pernyataan filsafat sangat ditentukan oleh
metode ilmu pengetahuan positif dan empiris tersebut. Dalam pengertian inilah maka positivime logis mengembangkan prinsip
verifikasi. Menurut madzhab yang berpusat di wina ini bahwa suatu ungkapan atau
proposisi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi.
Memverifikasi berarti menguji, membuktikan secara empiris. Setiap ilmu
pengetahuan dan filsafat senantiasa memiliki suatu pernyataan-pernyataan baik berupa aksioma, teori atau dalil hal itu
dianggap memiliki makna bilamana secara prinsip dapat diverifikasi.[19]
Menurut Ayer
prinsip verifikasi sebagaimana yang diajukan oleh Sclick itu merupakan
verifikasi dalam arti yang ketat yaitu sejauh kebenaran suatu pernyataan itu
didukung pengalaman secara meyakinkan. Adapun verifikasi dalam arti lunak, yaitu sejauh proposisi itu
mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau merupakan pengalaman yang
memungkinkan.[20]
Terdapat dua macam proposisi menurut positivisme logis yaitu[21] Proposisi empiris yaitu proposisi faktual
yang dapat diverifikasi secara empiris dan proposisi formal (proposisi
analitis) yaitu proposisi yang kebenarannya tidak memerlukan verifikasi secara
empiris. Apa yang dimaksudkan Ayer dengan proposisi analitik ini yaitu
proposisi yang benar melalui pembatasan, tidak didasarkan pada pengalaman
melainkan berdasarkan pada “a priori”, mengandung kepastian dan
keniscayaan yaitu yang dinamakan “tautologi”, mengandung makna sejauh proposisi
yang beresangkutan didasarkan pada istilah yang pasti jadi maknanya terletak
pada bahasa atau ungkapan verbal.[22]
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern, konsep proposisi menurut
positivisme logis ini menjadi kata kunci untuk mendapatkan suatu kebenaran ilmiah
yang objektif. Persoalannya adalah ilmu pengetahuan itu beraneka ragam corak
dan sifatnya baik berdasarkan objek formal maupun materialnya. Oleh karena itu
akan timbul suatu persoalan yang semakin rumit bagi ilmu pengetahuan yang
bersifat kualitatif.
2.
Filsafat
Bahasa Biasa
a.
Ludwig
Wittgenstein II: Meaning
is Use
“You can not step twice into
the same river, for the fresh waters are ever flowing upon you”. Demikian
ungkapan Heraklitus, maksudnya semua yang ada didunia ini senantiasa berubah.
Perubahan adalah abadi sepanjang masa. Yang berubah itu bukan hanya alam, tapi
juga pikiran manusia. Kasus ini seperti yang terjadi pada Wittgenstein.
Sebelumnya pemikiran Wittgenstein berpijak pada atomisme logis dan positivisme
logis. Setelah menetap beberapa tahun dinegeri asalnya, pendapatnya mulai
berubah dari apa yang telah diuraikan dalam bukunya Tractatus. Ia mulai
meninggalkan atomisme logis dan positivism logis. Walapun begitu, bahasa tetap
menjadi perhatian Wittgenstein. Pada periode Tractatus, Wittgenstein
berpendapat bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang menpunyai arti, meaning
is picture artinya bahasa akan berarti jika dipakai untuk menggambarkan
suatu keadaan faktual.[23]
Pemikiran Wittgenstein yang semula menganggap bahwa
bahasa biasa tidak mencukupi untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran filosofis,
kini justru bergeser pada keyakinan kalau bahasa sehari-sehari memadai untuk
melakukan hal itu. Inti pemikiran Wittgenstein periode kedua adalah “tata
permainan bahasa” (Language Games). Hakikat bahasa adalah penggunaannya dalam
berbagai macam konteks kehidupan manusia. Setiap konteks kehidupan manusia
menggunakan satu bahasa tertentu yang memiliki
aturan penggunaan tertentu yang berbeda dengan konteks penggunaan
lainnya. Singkatnya setiap konteks kehidupan memiliki aturan penggunaan bahasa
yang berbeda-beda. Wittgensein berkesimpulan
bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa,
dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam
berbagai konteks kehidupan manusia.[24]
Namun, dalam
kehidupan sehari-hari, kita acap kali menjumpai kata atau ungkapan yang sama
yang dipergunakan dalam pelbagai bentuk permainan bahasa.[25] Sebagai contoh, kata al khobar dalam bahasa arab itu mengandung
arti yang berbeda dalam penggunannya. Jika dipergunakan dalam ahli hadits maka
mengandung arti sebagai berita yang dituturkan Nabi, makna ini berlainan dengan
yang dimaksud oleh ilmu nahwu, al khobar adalah pokok kalimat, predikat
dari sebuah subjek. Sedangkan menurut ahli ilmu Mantiq dan ahli
semantika, kata khobar mengandung arti sebagai sesuatu yang mengandung
nilai benar dan salah.
Hal itu berarti makna kata tergantung dari situasi,
tempat dan waktu digunakannya kata-kata tersebut dalam kalimat. Kekacauan dalam
pemakaian bahasa, menurut Wittgenstein, disebabkan oleh ketidaktepatan
(kekeliruan) penerapan aturan (tata permainan bahasa) dalam sebuah konteks
tertentu. Hal ini dapat dianalogikan dengan berbagai bentuk permainan (game)
yang masing-masing memiliki aturan (rule) masing-masing. Kekacauan akan
timbul manakala aturan pada sebuah permainan diterapkan pada permainan yang
bukan seharusnya.
Setelah melihat uraian mengenai “language games”, jelaslah bahwa
filsafat analitik mengalami perkembangan dan perubahan orientasi, terutama pada
Wittgenstein. Aliran filsafat analitik tidak lagi berkembang di Universitas Cambridge, tapi setelah periode ini berkembang di Oxford.
b.
Aliran Oxford : Ordinary Language Philosophy
Seperti telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, bahwa setelah
perang dunia kedua filsafat analitik diminati pula oleh kalangan akademisi dari
Oxford. Beberapa tokoh dari aliran ini adalah G.Ryle, J. Wisdom, J. Austin, R.B
Braithwaite, A. Flew, J. Searle, P. Strawon, SE Toulmin, J. Urmson, dan G.
Warnock. Kelompok Oxford itu menggunakan metode Wittgenstein untuk menyelidiki macam-macam jenis bahasa. John Austin menyelidiki
perbedaan antara constative utterance dan performative utterance.
Atau seperti G. Ryle yang sibuk dengan penyelidikannya disekitar konsep-konsep
yang menyangkut hidup psikis dengan category mistakenya yaitu kekeliruan
kategori yang sering muncul dalam suatu penggunaan bahasa. Ciri umum filsafat
analitik yang berpusat di Oxford, sebagaimana telah diikhtisarkan K. Bertens,
berikut ini:
·
Pertanyaan utama yang diajukan oleh mereka adalah tentang cara bagaimana
kata-kata dipakai. Filsafat harus mempelajari pemakaian bahasa yang konkret.
Kalau tidak filsafat tidak akan berbicara tentang bahasa menurut keadaan yang
sesungguhnya.
·
Ucapan-ucapan mempunyai lebih
banyak fungsi daripada satu fungsi saja dan karena itu bermakna lebih banyak
cara dari pada satu saja.
·
Dibidang filsafat terdapat banyak kekeliruan yang berasal dari category
mistake. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam tata bahasa atau buku-buku
logika belum cukup untuk mencapai tujuan itu dan karenanya penyelidikan
filosofis ini sangat perlu.[26]
Sebagai pelengkap dari ikhtisar yang dijelaskan oleh Bertrens tersebut,
maka dianggap perlu untuk menjelaskan beberapa istilah penting dari filsafat
analitik aliran”Ordinary Langage Philosophy”. Beberapa istilah itu
adalah:
·
Category mistake, menurut
Ryle kekeliruan pokok yang sering terjadi dalam filsafat adalah kekeliruan kategori.
Kekeliruan terjadi dalam penggunaan bahasa dalam melukiskan fakta-fakta yang
termasuk kategori satu dengan menggunakan ciri-ciri logis yang menandakan kategori
lain. Menurut Ryle dalam filsafat penggunaan bahasa sehari-hari juga terjadi
kekeliruan kategori sehingga persoalan filsafat seringkali timbul karena
kekeliruan tersebut. Dengan maksud memperlihatkan secara kongkrit bagaimana
para filsuf mencampuradukan kategori-kategori yang berlainan. Ryle membedakan
pelbagai jenis kata, mislanya menurutnya perlu dibedakan kata-kata yang
menunjuk pada sautu disposisi dengan kata-kata yang menunjuk pada suatu
peristiwa. Suatu ungkapan ”ia tidak merokok” dapat dipakai dalam dua arti yaitu menunjukan
disposisi bahwa (ia sudah biasa tidak merokok) atau menunjuk suatu kejadian
kongkrit ( ia sekarang tidak merokok)[27].
Dengan cara ini maka kita bisa menentukan makna dari suatu kalimat yang
diungkapkan.
·
Task Verb dan Achievment
Verb, yaitu kata kerja yang mengacu pada suatu tugas dan kata kerja yang
mengacu pada tujuan atau hasil yang akan dicapai.[28] Dalam bentuk kalimat, G. Ryle mencontohkan dalam ungkapan ”seorang atlet lari seratus meter, dan ia menang”. Kata kerja ”lari” adalah task verb, sedangkan “menang” adalah Achievment
Verb. Atlet tersebut tidak melakukan dua pekerjaan, yaitu lari dan menang, tapi ia
hanya melakukan satu pekerjaan yaitu berlari yang menghasilkan kemenangan.
·
Ucapan konstatif dan ucapan performatif dari John Langshaw Austin.
Ucapan konstatif adalah ucapan yang melukiskan suatu keadaan faktual. Karena
itu kebenaran dan ketidakbenarannya dapat dibuktikan secara verifikatif. Contoh dari ucapan ini adalah” banyak pedagang mainan anak-anak dipasar sekaten”. Sedangkan ucapan performatif adalah suatu ucapan yang tidak melukiskan keadaan faktual,
dan karena itu tidak dapat dibuktikan kebenaran dan ketidakkebenarannya. Ucapan
ini hanya bersandar pada happy dan unhappy, layak atau tidak
layak. Contoh,”saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri yang sah.[29]
·
Speech acts atau
tindakan-tindakan bahasa. Maksudnya bahwa ketika kita mengucapkan sesuatu
berarti kita juga melakukan sesuatu itu. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang
dapat memainkan peranan jika kita mengungkap suatu kalimat. Menurut Austin tindakan
bahasa dibedakan menjadi tiga macam yaitu:[30]
·
Locutionary acts, yaitu
suatu tindakan bahasa untuk mengatakan sesuatu, yaitu suatu tindak untuk
menyampaikan suatu makna tertentu.
·
Illocutionary acts, yaitu
merupakan suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu, “in saying”,
dengan menggunakan suatu daya tertentu yang membuat si penutur bertindak dan
berlaku karena yang diucapkan
·
Perlocutionary acts, yaitu
suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu dengan maksud untuk menimbulkan
suatu efek, reaksi, pikiran atau tindakan bagi yang mendengar atau orang kedua
yang diajak bicara.
Selanjutnya perkembangan filsafat analitika bahasa dapat
dirangkum dalam sebuah diagram sebagai berikut :

E. Kesimpulan
Filsafat
analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan
Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba
menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan
atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis
dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Perhatian
filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman
Pra Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa tersebut menjadi populer pada abad ke
XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa. Adapun aliran-aliran
analitik bahasa yang pertama adalah atomisme logis, yang kedua positivisme
logis dan yang ketiga filsafat bahasa biasa (the ordinary language philosophy). Dalam memahami bahasa, aliran atomisme
logis dan positivisme logis, menganggap bahwa bahasa logika lebih sesuai bagi
maksud-maksud filsafat. Sedangkan penganut aliran filsafat biasa menganggap
bahwa bahasa biasa cukup memadai bagi maksud-maksud filsafat.
[1]
Muhammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.
121-125
[2]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik (sejarah, perkembangan, dan peranan para tokohnya), (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 6
[3]
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa (mengungkap hakikat bahasa,
makna, dan tanda), (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009) hlm 45
[4]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik…. hlm 8
[5]
Kaelan, M.S, Filsafat Bahasa, (Yogyakarta: Paradigma,
2002)hlm. 86
[6]
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat
Bahasa ….hlm. 48
[8] Proposisi atau dalam ilmu
mantiq disebut dengan khobar adalah suatu pernyataan yang mengandung nilai
benar atau salah.
[9]
Kaelan, M.S, Filsafat bahasa…, hlm. 97
[10]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik… hlm. 50
[12]
Kaelan, M.S, Filsafat bahasa… hlm, 135
[13]
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat
Bahasa ….hlm, 55-56
[14]
Kaelan, M.S, Filsafat bahasa… hlm 135-136
[15]
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat
Bahasa …hlm. 56
[16]Kaelan, M.S, Filsafat bahasa…, hlm. 121
[17]
Chaedar Alwasilah, Filsafat
Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2008) hlm. 28
[18]
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat
Bahasa …hlm. 64
[19]
Kaelan, M.S, Filsafat bahasa…, hlm. 125
[21]
Kaelan, M.S, Filsafat bahasa…, hlm. 128
[22]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik…. hlm 85
[23]
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat
Bahasa …hlm. 72
[24]
Kaelan, M.S, Filsafat bahasa…, hlm 136
[25]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik…. Hlm. 105
[26]
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat
Bahasa …hlm. 79
[27]
Kaelan, M.S, Filsafat bahasa…, hlm. 156
[28]
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat
Bahasa …hlm. 83
[29]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik…. Hlm. 127
[30]
Kaelan, M.S, Filsafat bahasa…, hlm. 169
Tidak ada komentar:
Posting Komentar