ABSTRAK
Kajian Charles S Peirce memberikan gambaran tentang tradisi filsafat pada era kontemporer khususnya
pragmatisme. Hal ini muncul karena para pemikir kontemporer ingin membangun
kerangka pandangan epistemologi baru dan secara bersama-sama sepakat ingin
keluar dari berbagai kesulitan cara pemecahan yang biasa dikemukakan oleh
pemikiran modern. Para pemikir kontemporer berupaya meninggalkan orientasi
pembedaan subjek dan objek untuk memahami hakikat pengetahuan. Dengan
pendekatan pragmatis ini Charles S Peirce ingin menelaah tentang kebenaran dengan memahami adanya tiga sifat dasar yang ada yaitu keyakinan, adanya proposisi, adanya penilaian dan kebiasaan dalam pemikiran.
Untuk mencapai sebuah keyakinan akan sesuatu, minimal hrs ada 3 sifat dasar diatas. Pada gilirannya, keyakinan akan menghasilkan kebiasaan dalam fikiran ( habit of mind). Berbagai kepercyaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan dalam pikiran yang dihasilkan. Dari situ, Peirce kemudian membedakan antara keraguan dengan keyakinan. Dari keraguan inilah timbul semacam inquiry (investigasi), melalui investigasi inilah, akhirnya yang mengantarkan manusia dalam mencapai meaning (makna yang hakiki) yang pada dasarnya lebih utama daripada Truth (kebenaran),karena makna merupakan esensi dan substansi dari berbagai fenomena kehidupan manusia.
Untuk mencapai sebuah keyakinan akan sesuatu, minimal hrs ada 3 sifat dasar diatas. Pada gilirannya, keyakinan akan menghasilkan kebiasaan dalam fikiran ( habit of mind). Berbagai kepercyaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan dalam pikiran yang dihasilkan. Dari situ, Peirce kemudian membedakan antara keraguan dengan keyakinan. Dari keraguan inilah timbul semacam inquiry (investigasi), melalui investigasi inilah, akhirnya yang mengantarkan manusia dalam mencapai meaning (makna yang hakiki) yang pada dasarnya lebih utama daripada Truth (kebenaran),karena makna merupakan esensi dan substansi dari berbagai fenomena kehidupan manusia.
A.
Pendahuluan
Filsafat dan
ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansi maupun historis
karena kelahiran ilmu tidak terlepas dari peran filsafat. Sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kedudukan filsafat sebagai
induk dari ilmu pengetahuan, memiliki proses perumusan yang sangat sulit dan
membutuhkan pemahaman yang mendalam, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat
dimanifestasikan oleh seorang filosof.
Perumusan
tersebut merupakan suatu stimulus atau rangsangan untuk memberikan suatu
bimbingan tentang bagaimana cara kita harus mempertahankan hidup. Manusia sebagai
makhluk pencari kebenaran yang dalam
eksistensinya terdapat tiga bentuk kebenaran, yaitu ilmu pengetahuan, filsafat
dan agama.
Di antara pembahasan filsafat ilmu ialah telaah mengenai
perkembangan pemikiran manusia dalam mencari kebenaran dimulai dari belief (keyakinan), habit of mind (kebiasaan pikiran), doubt (keraguan), inquiry (investigasi) dan meaning (makna), sebagaimana
diuraikan oleh Charles Sanders Peirce.[1] Sebelum
seseorang mencari suatu kebenaran, hal yang lumrah dilakukan adalah memperoleh keyakinan itu sendiri. Seseorang yang
telah yakin terhadap sesuatu pasti dia akan semakin
penasaran dan ingin sekali menggali secara dalam apa yang telah diyakininya. Dari penggalian secara mendalam itu akan timbul kebiasaan berfikir (habit
of mind) yang mana melekat dalam benak seseorang selanjutnya diiringi oleh
kemunculan doubt yaitu keraguan akan keyakinan yang diyakininya. Dengan
keraguan ini yang bisa mengantarkan manusia untuk melakukan penelitian ilmiah
dan akhirnya dapat mencapai makan hakiki dari keyakinan yang dianutnya.
B.
Filsafat
Kontemporer dan Pragmatisme
Filsafat kontemporer dimulai dengan munculnya
filosof-filosof pragmatis yang diteruskan oleh filosof analitik. Pada era ini,
tema epistemologi pada zaman
filsafat modern dialihkan ke metodologi bahasa dimana kita berbicara tentang knowledge
dan belief[2].
Adanya perhatian terhadap bahasa ini ,meniscayakan lahirnya kembali logika yang
kemudian terkenal sebagai logika modern. Satu dianatara sekian filsafat
kontemporer yang mempunyai minat besar terhadap science of linguistic
ini adalah pragmatisme.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar ialah yang membuktikan dirinya sebagai benar
dengan perantaraan akibat. Akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Jika suatu
ide tidak berhubungan dengan realitas, maka tidak ada klaim kebenaran baginya.[3]
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tidak lepas dari
3 filosof kontemporer yaitu Charles S Peirce, John Dewey, dan Willian James.
Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukan dalam kelompok aliran pragmatisme
tetapi focus pembahasannya berbeda. Charles S Peirce dengan filsafat ilmunya,
John Dewey dengan filasafat social dan pendidikannya, dan William James dengan
filsafat agamanya.
Sebelum era kontemporer ada dua penggerak
modernisme yaitu, Rene Descrates dan Issac Newton. Descrates dikenal dengan
kesangsian metodisnya yang mana ia meragukan segala realitas yang datang
kepadanya, baik yang bersifat eksternal, misalnya alam maupun yang bersifat
eksternal, misalnya tubuh. Layak untuk ditegaskan kembali bahwa Descrates
mengusung postulatnya yaitu corgito ergo sum untuk menyanggah kaum
skeptis yang mengingkari realitas.[4]
Dengan meragukan segala sesuatu , ia mencoba menguak realitas dunia luar.
Keraguan descrates bukanlah keraguan kaum skeptis yang menolak mutlak
pengetahuan yang sebenarnya bisa direngkuh oleh manusia. Namun sebaliknya,
keraguannya untuk mendapatkan pemahaman yang meyakinkan dan tak tergoyahkan.
Sementara tidak jauh dari zaman itu, ada 2
filosof yang mengkritik cara berfikir descrates yaitu, David Hume dan Immanuel
Kant. Mereka mengatakan bahwa pengetahuan manusia bisa didapat dari rasio yaitu
pengalaman maupun panca indra. Mereka menolak konsep fitrah yang diyakini kaum
rasionalis seperti descrates. Diantara ketiga filosof yang terdiri dari
berbagai aliran yaitu rasionalisme, empirisme maupun positivisme, belum ada
yang mengkritik teori darwin seperti yang dilakukan oleh Charles S Peirce. Peirce
mengatakan bahwa manusia tidak akan maju jika cara berfikir mereka stagnant
dan masih sama seperti yang dulu. Dengan ini, manusia haruslah mengikuti cara
dan tahapan berfikir manusia eropa, yang terdiri dari 5 tahapan yaitu, belief,
habit of mind, doubt, inquiry, dan meaning.
Dengan begitu, tugas
utama pemikiran epistemologi kontemporer adalah bagaimana kita dapat keluar dan
terhindar dari keraguan, ketidaktahuan (ignorance), dan mengganti
kepercayaan (beliefs) yang masih mentah dan tidak didukung oleh data
yang memadai dengan kepercayaan yang didukung oleh data yang bagus dan
selengkap mungkin; bagaimana kita dapat membedakan kepercayaan yang sehat dan
yang tidak sehat; bagaimana kita dapat mencapai kemajuan-kemajuan (progress)
dalam ilmu pengetahuan, baik yang terkait dengan perluasan dan pengembangan
ilmu pengetahuan maupun dalam hal penjernihan dan perbaikan
kepercayaan-kepercayaan kita terhadap dunia dalam berbagai cabang dan bidangnya
yang hampir-hampir tidak terbatas.[5]
C.
Mengenal Sosok Charles S. Peirce[6]
Charles Sanders Peirce
lahir di Cambridge, Massachussetts, 10 September 1839. Ia merupakan anak kedua
dari Benjamin Peirce dan Sarah Peirce, Charles S. Peirce jenius, baik dalam
filsafat maupun ilmu pengetahuan. Sebelum masuk ke Harvard, pada usia 16 tahun,
Peirce sudah melakukan training dilaboratorium kimia selama sepuluh
tahun, dan telah membaca logika Whitely. Pendidikannya di Harvard
dikosentrasikan pada filsafat dan ilmu-ilmu fisika. Ia telah menghabiskan
waktunya dua jam sehari selama lebih tiga tahun untuk menekuni “Critique of
Pure Reason” karya Immanuel Kant sehingga menguasai betul karya tersebut,
dan dapat memberikan kritik pada setiap bagian. Ia setuju dengan Kant dalam
membuat pengetahuan relatif menuju pembentukan pemikiran manusia dan batas
wilayah pengalaman yang mungkin.
Peirce menikah pada 1862
dengan Marriet Melunisia Inadequasies seorang feminis pertama di Amerika. Sejak
awal Peirce tertarik dengan logika ilmiah hingga akhir hayatnya. Serangkaian
kuliah logika ilmiah ia berikan di Harvard
pada tahun 1864-1865. Ia juga mengajar logika ilmiah dan induksi di
Lowell Institute pada 1864-1867 di Boston. Suatu peristiwa yang lebih penting
selama masa 1870an, secara rutin Peirce bertemu dengan sejumah sarjana di
cambridge. Kemudian kelompok ini dikenal dengan “Methaphisical Club”.
Untuk pertama kalinya, Peirce menyampaikan gagasannya tentang pragmatisme.
Sejak itu ia dikenal sebagai figur utama gerakan pragmatisme. Pada tahun
1879-1884, ia mengajar di Hopkins University.
Charles S. Peirce
meninggal akibat kanker dan meninggal di Milford, Pennsylvania, 19 April 1914.
Setelah meninggal, Universitas Harvard membeli manuskripnya dari janda Peirce.
Koleksi awal yang diedit oleh Morris R. Kohen dengan judul “Chance, Love,
and Logic” yang dipublikasikan pada 1923. Akan tetapi karya utamanya yang
dipublikasikan oleh harvard University diedit oleh Charles S Peirce dan Paul
Weis dalam enam volume, “ The Collected Paper’s of Charles Sanders Peirce”
pada 1931-1935.
D.
Kebenaran Menurut Charles S Peirce
Langkah awal yang harus dilakukan untuk memahami pandangan besar Peirce
tentang kebenaran adalah memahami adanya tiga sifat dasar yang ada keyakinan; pertama
adanya proporsisi, kedua adanya penilaian, dan ketiga kebiasaan
dalam pikiran. Untuk mencapai sebuah keyakinan akan sesuatu, minimal harus ada
tiga sifat dasar di atas. Pada gilirannya, keyakinan akan menghasilkan
kebiasaan dalam pikiran (habit of mind). Berbagai kepercayaan dapat
dibedakan dengan membandingkan kebiasaan dalam pikiran yang dihasilkan. Dari
situ, Peirce kebudian membedakan antara keraguan (doubt) dan keyakinan (belief).
Orang yang yakin pasti berbeda dengan orang yang ragu minimal dari dua hal: feeling
and behaviour. Orang yang ragu selalu merasa tidak nyaman dan akan berupaya
untuk menghilangkan keraguan itu untuk menemukan keyakinan yang benar.[7]
1.
The Nature of Belief
Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih mendalam, maka perlu dijelaskan
pengertian belief. Menurut pandangan Charles S Peirce,
istilah belief dapat diambil dari berbagai sekumpulan tulisan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
“ A belief
is the assertion of proposition a person holds to be true. It is that upon
which a person is consciously prepared to act in a certain definite way: it
marks a habit of mind : it is the opposite of a state of doubt “[8]
Pertanyaan
tegas dari suatu dalil yang dianggap benar yang mana seseorang secara sadar dan
siap untuk betindak dengan cara tertentu yang menghasilkan kebiasaan dalam
berfikir (habit of mind). Keyakinan itu juga merupakan lawan dari
keraguan. Dalam pengertian yang luas ”belief”
itu berpusat pada manusia. Karena manusia berbeda
dengan makhluk lainnya yang mana memilki keyakinan dan menggunakan akalnya
untuk memperoleh ide-ide yang cemerlang.
Adapun hakekat
keyakinan itu sendiri adalah keinginan yang kita perbuat dengan cara tertentu
dan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan merupakan keasadaran yang berlangsung
terus- menerus dan bukan merupakan kesadaran sesaat saja, seperti melihat
kilatan cahaya atau petir yang hanya sekejap mata. Charles S Peirce berpendapat
bahwa memperoleh keyakinan tidak hanya sebagai serangkaian pengalaman yang
dialami, tetapi atas dasar latihan imajinasi yang berulang-ulang adalam suatu
kondisi atau keadaan tertentu.[9]
Rene Descartes yang dikenal sebagai tokoh pengerak modernisme juga
mengusung konsep belief ini. Layak untuk ditegaskan kembali bahwa
Descartes mengusung postulannnya cagito ergo Sum atau dubito ergo Sum,
dengan menggunakan bahasa Latin, untuk menyanggah kaum Skeptisme yang
mengingkari realitas. Permis awalnya adalah “Saya ragu” yang kemudian
dilanjutkan dengan “Ketika seorang ragu dia pasti berpikir”. Dari situlah
muncul proposisi “Ketika saya berpikir maka saya ada” atau cogito ergo Sum.
Dengan meragukan segala sesuatu (to doubt all things), Descartes mencoba
mencoba menguak realitas dunia luar. Keraguan Descartes bukanlah keraguan kaum
skeptis yang menolak mutlak pengetahuan yang sebenarnya bisa direngkuh oleh
manusia. Keraguan Descartes, sebalinya, adalah keraguan untuk mendapatkan
pemahaman yang meyakinkan dan tak tergoyahkan.[10]
Belief
merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya, sehingga menjadi dasar bagi
seseorang untuk bertindak. Seseorang yang telah meyakini suatu hal pasti akan
menghasilkan kebiasaan dalan berfikir (habit of mind)
orang tersebut. Habit of Mind seseorang dapat juga disebut dengan culture
atau kebudayaan dalam berfikir. Dari kebiasaan berfikir tersebut, tidak semua
orang akan yakin terhadap sesuatu yang belum jelas kebenarannya. Dari situlah
akan timbul rasa ragu dalam diri orang tersebut.
“ Doubt is an
uneasy and dissatisfied state from which we struggle to free ourselves and pass
into the state of belief ; while the latter is a calm and satisfactory state
which we do not wish to avoid or to change to a belief in anything else. On the
contrary, we cling tenaciously, not merely to believing but to believing just
what we do believe”.[11]
Keraguan adalah
keadaan gelisah dan
tidak puas dari mana kita berjuang
untuk membebaskan diri dan
menjadi yakin,
sedangkan yang keyakinan adalah
keadaan tenang dan puas
yang mana kita tidak ingin
menghindari atau untuk
mengubah suatu kepercayaan apa
pun. sebaliknya, kita
berpegang teguh, bukan
hanya untuk percaya, tetapi
untuk percaya apa
yang kita percaya.
Charles S Peirce kemudian membedakan antara
keraguan (doubt) dan keyakinan (belief). Orang yang yakin pasti
berbeda dengan orang yang ragu, minimal dari dua hal: feeling dan behavior.[12]
Orang yang ragu selalu merasa tidak nyaman dan akan berupaya untuk
menghilangkan keraguan itu untuk menemukan yang benar. Terdapat dua macan doubt
yaitu genuine doubt (keraguan sejati) dan artificial doubt
(keraguan semu). Hanya genuine doubt yang bisa mengantarkan kepada
tahapan berikutnya, yakni inquiry.
Charles S Peirce mengakui bahwa dalam sejarah
manusia, usaha untuk mencari kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai cara, antara
lain[13]:
·
Metode Tenacity
Metode tenacity adalah cara
memperoleh pengetahuan yang dilakukan dengan sangat meyakini sesuatu, meski
bisa jadi apa yang diyakininya belum tentu benar. Keyakinan ini
disebabkan karena hal yang diyakini tersebut umumnya terjadi.
·
Metode Authority
Keyakinan
dalam metode ini diterima dari berbagai sumber yang dipandang sebagai otoritatif. Maksudnya, kebenaran
bisa didapat melalui otoritas pemegang kekuasaan, seperti seorang raja atau
pejabat pemerintah.
·
Metode A Priory
Metode
yang dapat ditemukan dalam sejarah filsafat metafisika. Kebenaran diterima
semata-mata karena intuisi. Menurut metode ini seseorang dapat
menerima pandangan apa pun jika sesuai dengan pikirannya tanpa harus dibuktikan
dengan fakta-fakta empiris yang dapat diamati.
·
Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai
tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh
pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Metode ini
merupakan metode yang dapat dipercaya dan paling penting. Menurut rumusan dalam
The World of Science Encyclopedia, metode ilmiah pada umumnya diartikan
sebagai: “The procedures used by scientist in the systemic pursuit of new
knowledge and the reexamination of existing knowledge”.
Dalam sebuah makalah yang terbit pada 1878, yang berjudul How I make Our
Ideas Clear, Peirce menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Suatu pernyataan adalah benar apabila pernyataan atau konsekuensi dari
pernyataan itu dipercaya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Kepercayaan
atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik adalah hal yang menjadi
justifikasi dari segala tindakan. Keyakinan yang meningkatkan suatu kesuksesan
adalah kebenaran.[14]
2. Theory of Inquiry
Charles S Peirce
menggunakan berbagai istilah untuk “inquiry” seperti “investigation”,dan
“reasoning”.[15] Teori inkuiri ini bertitik tolak dari
keyakinan (belief) dan keraguan (doubt). Keyakinan dan keraguan
merupakan dua hal yang pasti dialami oleh manusia. Adakalanya manusia itu yakin
sepenuh hati dan pikiran terhadap sesuatu dan
adakalanya manusia itu ragu atau skeptis terhadap sesuatu. Peirce mencetuskan
teori inkuiri (theory of inquiry) ini bertitik tolak dari klaim
Descartes atas keyakinan dan keraguan.
Dalam dunia sains dewasa ini terminologi the benefit of doubt
(manfaat keraguan) seperti itu telah mendorong orang untuk mencari
kebenaran-kebenaran sains. Pencarian tersebut dimaksudkan untuk menolaknya,
melainkan untuk meragukan kemudian menyingkapnya dengan penelitian dan
pengkajian.[16]
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai teori inkuri ini, maka kita
kaji terlebih dahulu konsep Descartes mengenai keyakinan dan keraguan itu. Descartes
sangat radikal dalam memahami keraguan sebagai satu-satunya cara untuk
mengantarkan manusia pada keyakinan akan kebenaran yang sesungguhnya. Dr. Hj.
Rodliyah Khuza’i, M. Ag. menjelaskan:
“Ia
(Descartes) menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara
untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah melihat
seberapa jauh bisa diragukan. Keraguan bila diteruskan sejauh-jauhnya, akhirnya
akan membuka tabir yang tidak bisa diragukan, kalau hal itu ada. Prosedur yang
disarankan Descartes disebut “keraguan universal” karena direntang tanpa batas
atau sampai keraguan itu membatasi diri; disebut metodik karena keraguan ini
merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif untuk mencapai kebenaran
sebagai usaha yang dilakukan budi”.[17]
Keraguan
universal (universe doubt) didasarkan pada suatu ungkapan Descartes
sendiri, yaitu “cogito ergo sum”, artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada".
Untuk lebih jelasnya lagi adalah sebagai berikut: Jika dijelaskan, kalimat "cogito ergo sum"
berarti sebagai berikut. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama
meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia
bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Descartes
berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri
tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin
menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir
sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia
pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya
membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih
besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya
ke jalan yang salah.
Jadi, inquiry adalah suatu metode untuk mengkaji kenyataan–kenyataan
mengenai sesuatu, atau metode untuk menyelidiki dan mengumpulkan informasi
mengenai sesuatu. Maka dengan pengertian yang sempit
itu, sistem inquiry identik dengan suatu metode untuk meneliti sasaran tertentu. Inquiry dalam arti luas adalah suatu komplek kegiatan keilmuan
(berpikir ilmiah dan melakukan kegiatan–kegiatan ilmiah) yang bertujuan untuk
mendapatkan sesuatu pengetahuan yang benar. Pengetahuan
yang dimaksud disini, ialah pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah.
Menurut Peirce, kebenaran sebuat teori betapa pun baiknya
haruslah tetap diterima secara tentative, dalam arti kebenarannya dapat
diterima sepanjang belum ditemukan teori lain yang lebih powerful.
Prinsip, bahwa sebuah teori tidak boleh diperlakukan mutlak, a priori
dan hanya bersifat tentative, dikenal dengan prinsip fallibilism.
Peirce sering menekankan bahwa pengetahuan ilmiah bukan sesuatu yang pasti
sempurna dan melampaui pencapaian objeknya. Ilmu pengetahuan tidak pernah
mencapai formulasi yang final absolut mengenai alam semesta. Pengakuan batas
yang niscaya dari pengetahuan ilmiah disebut Peirce fallibilsm, yaitu
sikap hati-hati terhadap ilmu pengetahuan yang dengan sengaja menyembunyikan
komitmen yang sempurna dan final terhadap perolehan metode ilmiah, tetapi
disatu sisi ada semangat kepercayaan terhadap ilmu dan jaminan, bahwa ilmu
benar-benar bertemu dengan kebenaran.[18]
Dengan demikian, sistem inquiry bukan sekedar
“metode” tetapi suatu “entity” atau wujud kebulatan, yang terdiri dari
serangkaian aktivitas ilmiah bahkan metode – metode yang dipergunakan tiada
lain adalah sarana penunjang bagi kegiatan inquiry itu sendiri.
Ilmu-ilmu kealaman pda umumnya menggunakan metode siklus-empirik dan objektivitasnya
diuji secara empiris-eksperimental. Ilmu-ilmu sosial dan humanistik pada umumnya
menggunakan metode liniar dan analisisnya dimaksudkan untuk menemukan arti,
nilai, dan tujuan.[19]
3.
Theory of Meaning
Salah satu upaya dalam memperoleh keyakinan
adalah dengan melakukan penelitian ilmiah. Melalui penelitian ilmiah inilah,
pemikiran manusia akhirnya akan dapat mencapai makna hakiki (meaning).
Chareles S Peirce menyebutnya sebagai teori pemaknaan pragmatis (Pragmatic
Theory of Meaning), yaitu teori makna yang operatif.[20]Peirce
memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah dan Peirce
lebih menekankan penerapan pragmatisme kedalam bahasa, yaitu untuk menerangkan
arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedannya dengan
konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa)
yang pada gilirannya mengangkat namanya sebagai bapak semiotika modern. [21]
Istilah makna pragmatis ini sangat penting
dalam pelaksanaan penelitian ilmiah. Charles S Peirce berpendapat bahwa
seseorang tidak akan menemukan kebenaran ilmiah dan bagaimana cara menemukan
kebenaran itu sendiri jika ia tidak memiliki makna dari keyakinan itu sendiri.
Melalui teori makna yang dikemukakan Charles S Peirce dapat dipahami suatu
pandangan yang harus dilakukan untuk memperjelas ide seseorang. Dengan
demikian, teori makna merupakan bagian esensial dalam logika penelitian.[22]
Term makna dari pragmatis sangat penting dalam
meletakkan kekuatan logika untuk membimbing penelitian. Bagi Peirce mencapai
kejelasan ide merupakan syarat dasar yang harus terpenuhi jika seseorang
menaruh minat utama dalam kebenaran. Seseorang tidak dapat mencapai kebenaran,
atau mengetahui bagaimana menemukannya jika seseorang tidak memiliki pengertian
apa ide dan makna keyakinan. Melaui teori makna yang dikemukakan oleh Peirce
dapat dipahami suatu pandangan yang harus dilakukan untuk memperjelas ide seseorang.
Dengan demikian, teori makna merupakan bagian esensial dalam logika penelitian.[23]
Teori makna ini erat
juga kaitannya dengan semiotika. “Semiotika: Inggris: semantics, Yunani:
semanticos (berarti) semainen (mengartikan) dan sema
(tanda). Semiotik: ilmu yang mempelajari komunikasi melalui lambang-lambang
(tanda-tanda)”.[24] Bagi Peirce, tanda “is something which stands to
somebody for something in some respect or capacity”[25],
artinya adalah tanda adalah sesuatu yang berarti untuk seseorang untuk sesuatu
dalam beberapa hal atau kapasitas.
Menurut
Charles S Peirce, betapa sulitnya ketika harus menganalisis definisi-definisi
universal. Menurutnya, agar kalimat atau proposisi bisa bermakna, para ahli
bahasa harus membuat istilah bermakna. Kebenaran dan kesalahan suatu pernyataan
harus bisa dibuktikan dalam laboratorium ilmiah. Bagi Charles S Peirce, suatu
masalah dikatakan signifikan, orisinal, dan bermakna apabila jawaban-jawaban
untuk masalah tersebut merupakan persyaratan yang bisa dibuktikan dengan
eksperimen.[26]
Berdasarkan keterangan ini, maka kita data
menarik suatu kesimpulan. Kesimpulannya adalah ide, gagasan atau konsepsi yang
baik itu adalah ide, gagasan atau konsepsi yang sesuai dengan konsekuensi
praksisnya (akibat-akibatnya). Suatu ucapan atau
ungkapan dikatakan bermakna ketika ia mengandung observation statement. Artinya,
sebuah ungkapan dikatakan bermakna ketika berdasarkan observasi. Pernyataan
benar, jika pernyataan sintetik dapat diuji kebenarannya secara empiris.
E.
Refleksi Akhir
Munculnya ilmu-ilmu baru,
penemuan-penemuan baru yang dilakukan oleh para pemikir terdahulu dari zaman
Yunani Kuno hingga sampai zaman kontemporer saat sekarang ini, kesemuanya merupakan
proses yang panjang hingga sampai kepada pencapaian makna (meaning). Seperti
keyakinan yang berkembang di masa Thales misalnya, bahwa alam semesta diatur
oleh para Dewa (belief). Ia mulai mempersolakan tentang sesuatu hal yang
diyakininya selama ini (doubt) dengan terus-menerus menggali dan
mengkaji tentang asal mula alam semesta (inqury) hingga akhirnya Thales
sampai pada sebuah pemaknaan terhadap alam bahwa menurutnya alam semesta ini
berawal dari air dan berakhir ke air juga (meaning).
Dari proses pemaknaan para ilmuwan terhadap
alam semesta, manusia, dan realitas maka muncul dan berkembang berbagai
disiplin ilmu, seperti Natural Science (fisika, kimia,
matematika,biologi, dll), Social Science (sosiologi, antropologi,
ekonomi, hukum, politik, dll). Selain Natural Science dan Social
Science, kajian epistemologi Peirce dapat diaplikasikan dalam studi islam.
Studi islam dapat dilakukan baik secara deduktif- a priori maupun empiri dengan
menggunakan metodee induktif- a posteriori yang berkembang menjadi abduksi.
Artinya, hasil penenlitian para pakar muslim yang lalu dapat dikaji ulang,
diberlakukan hipotesis-hipotesis untuk memilah-milah mana yang bersifat
normatif - sakral yang perlu dipertahankan dan mana bersifat historis - profan yang
dapat diubah dan terus dikembangkan. Atau dengan bahasa logika Peirce, dapa
dibedakan antara Tracendental Truth, kebenaran transenden, dan Transendental
Complex Truth, kebenaran kompleks.
Untuk menghadapi kelompok atau madzhab-madzhab yang cukup ekstrim dalam
mempertahankan hasil pemikiran mereka beserta para pengikutnya, Peirce
menawarkan metode fallibilism atau tentatinitas ilmu sehingga tidak akan
muncul, atau akan meminimalisasi terjadinya klaim kebenaran ilmu yang bersifat
absolut mutlak yang sering menimbulkan konflik dan perpecahan yang seharusnya
tidak perlu terjadi. Jadi, kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa kebenaran itu harus dipandang dengan relativitas yang positif, Not
Absolut, Not Ekslusif, dialogis, dan tidak menang-menangan. Selain itu ilmu
pengetahuan itu harus bisa diperbaiki kearah yang lebih baik (Corrigibility Knowledge). Jika tidak, Implikasinya adalah mandeg dan stagnan nya ranah
empiris-positivis dan kalau itu benar terjadi, ilmu yang telah ada jadi pari
purna, karena tak ada yang merespon apalagi mengkritik. Ilmu yang ada jadi
absolut, karena tidak ada koreksi, verifikasi, dan penemuan-penemuan baru
lanjutan. Inilah jalan dan alur berpikir ilmiah menurut Pierce. Dia menegaskan
bahwa kesimpulan dari inqury pun tidak merupakan capaian yang final, dan
mungkin akan terus disusul oleh capaian-capaian selanjutnya yang lebih sesuai
dengan kondisi pada masa tersebut. Ini yang disebutnya dengan istilah process
of philoshopy.
[1] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan
Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) hlm. 16
[2] Milton K. Munitz, Contemporary Analytic Philosophy, (New York:
Macmillan Publishing Co. Inc. 1981), hlm. 7
[3] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemolog: Muhammad Iqbal dan Charles S Peirce,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2007) hlm. 30
[5] M.Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 129
[19] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty, 2007) hlm. 134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar