Jumat, 07 November 2014

Makna Kebenaran (Belajar dari Charles S Pierce)




ABSTRAK
Kajian Charles S Peirce memberikan gambaran tentang tradisi  filsafat pada era kontemporer khususnya pragmatisme. Hal ini muncul karena para pemikir kontemporer ingin membangun kerangka pandangan epistemologi baru dan secara bersama-sama sepakat ingin keluar dari berbagai kesulitan cara pemecahan yang biasa dikemukakan oleh pemikiran modern. Para pemikir kontemporer berupaya meninggalkan orientasi pembedaan subjek dan objek untuk memahami hakikat pengetahuan. Dengan pendekatan pragmatis ini Charles S Peirce ingin menelaah tentang kebenaran dengan memahami adanya tiga sifat dasar yang ada yaitu keyakinan, adanya proposisi, adanya penilaian dan kebiasaan dalam pemikiran.
Untuk mencapai s
ebuah keyakinan akan sesuatu, minimal hrs ada 3 sifat dasar diatas. Pada gilirannya, keyakinan akan menghasilkan kebiasaan dalam fikiran ( habit of mind). Berbagai kepercyaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan dalam pikiran yang dihasilkan. Dari situ, Peirce kemudian membedakan antara keraguan dengan keyakinan. Dari keraguan inilah timbul semacam inquiry (investigasi), melalui investigasi inilah, akhirnya yang mengantarkan manusia dalam mencapai meaning (makna yang hakiki) yang pada dasarnya lebih utama daripada Truth (kebenaran),karena makna merupakan esensi dan substansi dari berbagai fenomena kehidupan manusia.

A.    Pendahuluan
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansi maupun historis karena kelahiran ilmu tidak terlepas dari peran filsafat. Sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kedudukan filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan, memiliki proses perumusan yang sangat sulit dan membutuhkan pemahaman yang mendalam, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat dimanifestasikan oleh seorang filosof.
Perumusan tersebut merupakan suatu stimulus atau rangsangan untuk memberikan suatu bimbingan tentang bagaimana cara kita harus mempertahankan hidup. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran yang dalam eksistensinya terdapat tiga bentuk kebenaran, yaitu ilmu pengetahuan, filsafat dan agama.
Di antara pembahasan filsafat ilmu ialah telaah mengenai perkembangan pemikiran manusia dalam mencari kebenaran dimulai dari belief  (keyakinan), habit of mind (kebiasaan pikiran), doubt (keraguan), inquiry (investigasi) dan meaning (makna), sebagaimana diuraikan oleh Charles Sanders Peirce.[1] Sebelum seseorang mencari suatu kebenaran, hal yang lumrah dilakukan adalah memperoleh keyakinan itu sendiri. Seseorang yang telah yakin terhadap sesuatu pasti dia akan semakin penasaran dan ingin sekali menggali secara dalam apa yang telah diyakininya. Dari penggalian secara mendalam itu akan timbul kebiasaan berfikir (habit of mind) yang mana melekat dalam benak seseorang selanjutnya diiringi oleh kemunculan doubt yaitu keraguan akan keyakinan yang diyakininya. Dengan keraguan ini yang bisa mengantarkan manusia untuk melakukan penelitian ilmiah dan akhirnya dapat mencapai makan hakiki dari keyakinan yang dianutnya.

B.     Filsafat Kontemporer dan Pragmatisme
Filsafat kontemporer dimulai dengan munculnya filosof-filosof pragmatis yang diteruskan oleh filosof analitik. Pada era ini, tema epistemologi pada zaman filsafat modern dialihkan ke metodologi bahasa dimana kita berbicara tentang knowledge dan belief[2]. Adanya perhatian terhadap bahasa ini ,meniscayakan lahirnya kembali logika yang kemudian terkenal sebagai logika modern. Satu dianatara sekian filsafat kontemporer yang mempunyai minat besar terhadap science of linguistic ini adalah pragmatisme.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat. Akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Jika suatu ide tidak berhubungan dengan realitas, maka tidak ada klaim kebenaran baginya.[3] Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tidak lepas dari 3 filosof kontemporer yaitu Charles S Peirce, John Dewey, dan Willian James. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukan dalam kelompok aliran pragmatisme tetapi focus pembahasannya berbeda. Charles S Peirce dengan filsafat ilmunya, John Dewey dengan filasafat social dan pendidikannya, dan William James dengan filsafat agamanya.
Sebelum era kontemporer ada dua penggerak modernisme yaitu, Rene Descrates dan Issac Newton. Descrates dikenal dengan kesangsian metodisnya yang mana ia meragukan segala realitas yang datang kepadanya, baik yang bersifat eksternal, misalnya alam maupun yang bersifat eksternal, misalnya tubuh. Layak untuk ditegaskan kembali bahwa Descrates mengusung postulatnya yaitu corgito ergo sum untuk menyanggah kaum skeptis yang mengingkari realitas.[4] Dengan meragukan segala sesuatu , ia mencoba menguak realitas dunia luar. Keraguan descrates bukanlah keraguan kaum skeptis yang menolak mutlak pengetahuan yang sebenarnya bisa direngkuh oleh manusia. Namun sebaliknya, keraguannya untuk mendapatkan pemahaman yang meyakinkan dan tak tergoyahkan.
Sementara tidak jauh dari zaman itu, ada 2 filosof yang mengkritik cara berfikir descrates yaitu, David Hume dan Immanuel Kant. Mereka mengatakan bahwa pengetahuan manusia bisa didapat dari rasio yaitu pengalaman maupun panca indra. Mereka menolak konsep fitrah yang diyakini kaum rasionalis seperti descrates. Diantara ketiga filosof yang terdiri dari berbagai aliran yaitu rasionalisme, empirisme maupun positivisme, belum ada yang mengkritik teori darwin seperti yang dilakukan oleh Charles S Peirce. Peirce mengatakan bahwa manusia tidak akan maju jika cara berfikir mereka stagnant dan masih sama seperti yang dulu. Dengan ini, manusia haruslah mengikuti cara dan tahapan berfikir manusia eropa, yang terdiri dari 5 tahapan yaitu, belief, habit of mind, doubt, inquiry, dan meaning.
Dengan begitu, tugas utama pemikiran epistemologi kontemporer adalah bagaimana kita dapat keluar dan terhindar dari keraguan, ketidaktahuan (ignorance), dan mengganti kepercayaan (beliefs) yang masih mentah dan tidak didukung oleh data yang memadai dengan kepercayaan yang didukung oleh data yang bagus dan selengkap mungkin; bagaimana kita dapat membedakan kepercayaan yang sehat dan yang tidak sehat; bagaimana kita dapat mencapai kemajuan-kemajuan (progress) dalam ilmu pengetahuan, baik yang terkait dengan perluasan dan pengembangan ilmu pengetahuan maupun dalam hal penjernihan dan perbaikan kepercayaan-kepercayaan kita terhadap dunia dalam berbagai cabang dan bidangnya yang hampir-hampir tidak terbatas.[5]

C.    Mengenal Sosok Charles S. Peirce[6]
Charles Sanders Peirce lahir di Cambridge, Massachussetts, 10 September 1839. Ia merupakan anak kedua dari Benjamin Peirce dan Sarah Peirce, Charles S. Peirce jenius, baik dalam filsafat maupun ilmu pengetahuan. Sebelum masuk ke Harvard, pada usia 16 tahun, Peirce sudah melakukan training dilaboratorium kimia selama sepuluh tahun, dan telah membaca logika Whitely. Pendidikannya di Harvard dikosentrasikan pada filsafat dan ilmu-ilmu fisika. Ia telah menghabiskan waktunya dua jam sehari selama lebih tiga tahun untuk menekuni “Critique of Pure Reason” karya Immanuel Kant sehingga menguasai betul karya tersebut, dan dapat memberikan kritik pada setiap bagian. Ia setuju dengan Kant dalam membuat pengetahuan relatif menuju pembentukan pemikiran manusia dan batas wilayah pengalaman yang mungkin.
Peirce menikah pada 1862 dengan Marriet Melunisia Inadequasies seorang feminis pertama di Amerika. Sejak awal Peirce tertarik dengan logika ilmiah hingga akhir hayatnya. Serangkaian kuliah logika ilmiah ia berikan di Harvard  pada tahun 1864-1865. Ia juga mengajar logika ilmiah dan induksi di Lowell Institute pada 1864-1867 di Boston. Suatu peristiwa yang lebih penting selama masa 1870an, secara rutin Peirce bertemu dengan sejumah sarjana di cambridge. Kemudian kelompok ini dikenal dengan “Methaphisical Club”. Untuk pertama kalinya, Peirce menyampaikan gagasannya tentang pragmatisme. Sejak itu ia dikenal sebagai figur utama gerakan pragmatisme. Pada tahun 1879-1884, ia mengajar di Hopkins University.
Charles S. Peirce meninggal akibat kanker dan meninggal di Milford, Pennsylvania, 19 April 1914. Setelah meninggal, Universitas Harvard membeli manuskripnya dari janda Peirce. Koleksi awal yang diedit oleh Morris R. Kohen dengan judul “Chance, Love, and Logic” yang dipublikasikan pada 1923. Akan tetapi karya utamanya yang dipublikasikan oleh harvard University diedit oleh Charles S Peirce dan Paul Weis dalam enam volume, “ The Collected Paper’s of Charles Sanders Peirce” pada 1931-1935.

D.    Kebenaran Menurut Charles S Peirce
Langkah awal yang harus dilakukan untuk memahami pandangan besar Peirce tentang kebenaran adalah memahami adanya tiga sifat dasar yang ada keyakinan; pertama adanya proporsisi, kedua adanya penilaian, dan ketiga kebiasaan dalam pikiran. Untuk mencapai sebuah keyakinan akan sesuatu, minimal harus ada tiga sifat dasar di atas. Pada gilirannya, keyakinan akan menghasilkan kebiasaan dalam pikiran (habit of mind). Berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan dalam pikiran yang dihasilkan. Dari situ, Peirce kebudian membedakan antara keraguan (doubt) dan keyakinan (belief). Orang yang yakin pasti berbeda dengan orang yang ragu minimal dari dua hal: feeling and behaviour. Orang yang ragu selalu merasa tidak nyaman dan akan berupaya untuk menghilangkan keraguan itu untuk menemukan keyakinan yang benar.[7]

1.      The Nature of Belief
Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih mendalam, maka perlu dijelaskan pengertian belief. Menurut pandangan Charles S Peirce, istilah belief dapat diambil dari berbagai sekumpulan tulisan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
A belief is the assertion of proposition a person holds to be true. It is that upon which a person is consciously prepared to act in a certain definite way: it marks a habit of mind : it is the opposite of a state of doubt “[8]
Pertanyaan tegas dari suatu dalil yang dianggap benar yang mana seseorang secara sadar dan siap untuk betindak dengan cara tertentu yang menghasilkan kebiasaan dalam berfikir (habit of mind). Keyakinan itu juga merupakan lawan dari keraguan. Dalam pengertian yang luas belief” itu berpusat pada manusia. Karena manusia berbeda dengan makhluk lainnya yang mana memilki keyakinan dan menggunakan akalnya untuk memperoleh ide-ide yang cemerlang.
Adapun hakekat keyakinan itu sendiri adalah keinginan yang kita perbuat dengan cara tertentu dan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan merupakan keasadaran yang berlangsung terus- menerus dan bukan merupakan kesadaran sesaat saja, seperti melihat kilatan cahaya atau petir yang hanya sekejap mata. Charles S Peirce berpendapat bahwa memperoleh keyakinan tidak hanya sebagai serangkaian pengalaman yang dialami, tetapi atas dasar latihan imajinasi yang berulang-ulang adalam suatu kondisi atau keadaan tertentu.[9]
Rene Descartes yang dikenal sebagai tokoh pengerak modernisme juga mengusung konsep belief ini. Layak untuk ditegaskan kembali bahwa Descartes mengusung postulannnya cagito ergo Sum atau dubito ergo Sum, dengan menggunakan bahasa Latin, untuk menyanggah kaum Skeptisme yang mengingkari realitas. Permis awalnya adalah “Saya ragu” yang kemudian dilanjutkan dengan “Ketika seorang ragu dia pasti berpikir”. Dari situlah muncul proposisi “Ketika saya berpikir maka saya ada” atau cogito ergo Sum. Dengan meragukan segala sesuatu (to doubt all things), Descartes mencoba mencoba menguak realitas dunia luar. Keraguan Descartes bukanlah keraguan kaum skeptis yang menolak mutlak pengetahuan yang sebenarnya bisa direngkuh oleh manusia. Keraguan Descartes, sebalinya, adalah keraguan untuk mendapatkan pemahaman yang meyakinkan dan tak tergoyahkan.[10]
Belief merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya, sehingga menjadi dasar bagi seseorang untuk bertindak. Seseorang yang telah meyakini suatu hal pasti akan menghasilkan kebiasaan dalan berfikir (habit of mind) orang tersebut. Habit of Mind seseorang dapat juga disebut dengan culture atau kebudayaan dalam berfikir. Dari kebiasaan berfikir tersebut, tidak semua orang akan yakin terhadap sesuatu yang belum jelas kebenarannya. Dari situlah akan timbul rasa ragu dalam diri orang tersebut.
“ Doubt is an uneasy and dissatisfied state from which we struggle to free ourselves and pass into the state of belief ; while the latter is a calm and satisfactory state which we do not wish to avoid or to change to a belief in anything else. On the contrary, we cling tenaciously, not merely to believing but to believing just what we do believe”.[11]
Keraguan adalah keadaan gelisah dan tidak puas dari mana kita berjuang untuk membebaskan diri dan menjadi yakin, sedangkan yang keyakinan adalah keadaan tenang dan puas yang mana kita tidak ingin menghindari atau untuk mengubah suatu kepercayaan apa pun. sebaliknya, kita berpegang teguh, bukan hanya untuk percaya, tetapi untuk percaya apa yang kita percaya.
Charles S Peirce kemudian membedakan antara keraguan (doubt) dan keyakinan (belief). Orang yang yakin pasti berbeda dengan orang yang ragu, minimal dari dua hal: feeling dan behavior.[12] Orang yang ragu selalu merasa tidak nyaman dan akan berupaya untuk menghilangkan keraguan itu untuk menemukan yang benar. Terdapat dua macan doubt yaitu genuine doubt (keraguan sejati) dan artificial doubt (keraguan semu). Hanya genuine doubt yang bisa mengantarkan kepada tahapan berikutnya, yakni inquiry.
Charles S Peirce mengakui bahwa dalam sejarah manusia, usaha untuk mencari kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai cara, antara lain[13]:
·         Metode Tenacity
Metode tenacity adalah cara memperoleh pengetahuan yang dilakukan dengan sangat meyakini sesuatu, meski bisa jadi apa yang diyakininya belum tentu benar. Keyakinan ini disebabkan karena hal yang diyakini tersebut umumnya terjadi.
·         Metode Authority
Keyakinan dalam metode ini diterima dari berbagai sumber yang dipandang sebagai otoritatif. Maksudnya, kebenaran bisa didapat melalui otoritas pemegang kekuasaan, seperti seorang raja atau pejabat pemerintah.
·         Metode A Priory
Metode yang dapat ditemukan dalam sejarah filsafat metafisika. Kebenaran diterima semata-mata karena intuisi. Menurut metode ini seseorang dapat menerima pandangan apa pun jika sesuai dengan pikirannya tanpa harus dibuktikan dengan fakta-fakta empiris yang dapat diamati.
·         Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Metode ini merupakan metode yang dapat dipercaya dan paling penting. Menurut rumusan dalam The World of Science Encyclopedia, metode ilmiah pada umumnya diartikan sebagai: “The procedures used by scientist in the systemic pursuit of new knowledge and the reexamination of existing knowledge”.
Dalam sebuah makalah yang terbit pada 1878, yang berjudul How I make Our Ideas Clear, Peirce menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Suatu pernyataan adalah benar apabila pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu dipercaya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik adalah hal yang menjadi justifikasi dari segala tindakan. Keyakinan yang meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran.[14]

2.      Theory of Inquiry
Charles S Peirce menggunakan berbagai istilah untuk “inquiry” seperti “investigation”,dan “reasoning”.[15] Teori inkuiri ini bertitik tolak dari keyakinan (belief) dan keraguan (doubt). Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang pasti dialami oleh manusia. Adakalanya manusia itu yakin sepenuh hati dan pikiran terhadap sesuatu dan adakalanya manusia itu ragu atau skeptis terhadap sesuatu. Peirce mencetuskan teori inkuiri (theory of inquiry) ini bertitik tolak dari klaim Descartes atas keyakinan dan keraguan.
Dalam dunia sains dewasa ini terminologi the benefit of doubt (manfaat keraguan) seperti itu telah mendorong orang untuk mencari kebenaran-kebenaran sains. Pencarian tersebut dimaksudkan untuk menolaknya, melainkan untuk meragukan kemudian menyingkapnya dengan penelitian dan pengkajian.[16]
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai teori inkuri ini, maka kita kaji terlebih dahulu konsep Descartes mengenai keyakinan dan keraguan itu. Descartes sangat radikal dalam memahami keraguan sebagai satu-satunya cara untuk mengantarkan manusia pada keyakinan akan kebenaran yang sesungguhnya. Dr. Hj. Rodliyah Khuza’i, M. Ag. menjelaskan:
“Ia (Descartes) menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah melihat seberapa jauh bisa diragukan. Keraguan bila diteruskan sejauh-jauhnya, akhirnya akan membuka tabir yang tidak bisa diragukan, kalau hal itu ada. Prosedur yang disarankan Descartes disebut “keraguan universal” karena direntang tanpa batas atau sampai keraguan itu membatasi diri; disebut metodik karena keraguan ini merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif untuk mencapai kebenaran sebagai usaha yang dilakukan budi”.[17]
Keraguan universal (universe doubt) didasarkan pada suatu ungkapan Descartes sendiri, yaitu “cogito ergo sum”, artinya adalah: "aku berpikir maka aku ada". Untuk lebih jelasnya lagi adalah sebagai berikut: Jika dijelaskan, kalimat "cogito ergo sum" berarti sebagai berikut. Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Descartes berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal termasuk dirinya sendiri tersebut, dia telah membersihkan dirinya dari segala prasangka yang mungkin menuntunnya ke jalan yang salah. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir sebenarnya tidak membawanya menuju kebenaran. Mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.
Jadi, inquiry adalah suatu metode untuk mengkaji kenyataan–kenyataan mengenai sesuatu, atau metode untuk menyelidiki dan mengumpulkan informasi mengenai sesuatu. Maka dengan pengertian yang sempit itu, sistem inquiry identik dengan suatu metode untuk meneliti sasaran tertentu. Inquiry dalam arti luas adalah suatu komplek kegiatan keilmuan (berpikir ilmiah dan melakukan kegiatan–kegiatan ilmiah) yang bertujuan untuk mendapatkan sesuatu pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang dimaksud disini, ialah pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah.
Menurut Peirce, kebenaran sebuat teori betapa pun baiknya haruslah tetap diterima secara tentative, dalam arti kebenarannya dapat diterima sepanjang belum ditemukan teori lain yang lebih powerful. Prinsip, bahwa sebuah teori tidak boleh diperlakukan mutlak, a priori dan hanya bersifat tentative, dikenal dengan prinsip fallibilism. Peirce sering menekankan bahwa pengetahuan ilmiah bukan sesuatu yang pasti sempurna dan melampaui pencapaian objeknya. Ilmu pengetahuan tidak pernah mencapai formulasi yang final absolut mengenai alam semesta. Pengakuan batas yang niscaya dari pengetahuan ilmiah disebut Peirce fallibilsm, yaitu sikap hati-hati terhadap ilmu pengetahuan yang dengan sengaja menyembunyikan komitmen yang sempurna dan final terhadap perolehan metode ilmiah, tetapi disatu sisi ada semangat kepercayaan terhadap ilmu dan jaminan, bahwa ilmu benar-benar bertemu dengan kebenaran.[18]
Dengan demikian, sistem inquiry bukan sekedar “metode” tetapi suatu “entity” atau wujud kebulatan, yang terdiri dari serangkaian aktivitas ilmiah bahkan metode – metode yang dipergunakan tiada lain adalah sarana penunjang bagi kegiatan inquiry itu sendiri. Ilmu-ilmu kealaman pda umumnya menggunakan metode siklus-empirik dan objektivitasnya diuji secara empiris-eksperimental. Ilmu-ilmu sosial dan humanistik pada umumnya menggunakan metode liniar dan analisisnya dimaksudkan untuk menemukan arti, nilai, dan tujuan.[19]


3.      Theory of Meaning
Salah satu upaya dalam memperoleh keyakinan adalah dengan melakukan penelitian ilmiah. Melalui penelitian ilmiah inilah, pemikiran manusia akhirnya akan dapat mencapai makna hakiki (meaning). Chareles S Peirce menyebutnya sebagai teori pemaknaan pragmatis (Pragmatic Theory of Meaning), yaitu teori makna yang operatif.[20]Peirce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah dan Peirce lebih menekankan penerapan pragmatisme kedalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa) yang pada gilirannya mengangkat namanya sebagai bapak semiotika modern. [21]
Istilah makna pragmatis ini sangat penting dalam pelaksanaan penelitian ilmiah. Charles S Peirce berpendapat bahwa seseorang tidak akan menemukan kebenaran ilmiah dan bagaimana cara menemukan kebenaran itu sendiri jika ia tidak memiliki makna dari keyakinan itu sendiri. Melalui teori makna yang dikemukakan Charles S Peirce dapat dipahami suatu pandangan yang harus dilakukan untuk memperjelas ide seseorang. Dengan demikian, teori makna merupakan bagian esensial dalam logika penelitian.[22]
Term makna dari pragmatis sangat penting dalam meletakkan kekuatan logika untuk membimbing penelitian. Bagi Peirce mencapai kejelasan ide merupakan syarat dasar yang harus terpenuhi jika seseorang menaruh minat utama dalam kebenaran. Seseorang tidak dapat mencapai kebenaran, atau mengetahui bagaimana menemukannya jika seseorang tidak memiliki pengertian apa ide dan makna keyakinan. Melaui teori makna yang dikemukakan oleh Peirce dapat dipahami suatu pandangan yang harus dilakukan untuk memperjelas ide seseorang. Dengan demikian, teori makna merupakan bagian esensial dalam logika penelitian.[23]
Teori makna ini erat juga kaitannya dengan semiotika. “Semiotika: Inggris: semantics, Yunani: semanticos (berarti) semainen (mengartikan) dan sema (tanda). Semiotik: ilmu yang mempelajari komunikasi melalui lambang-lambang (tanda-tanda)”.[24] Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity”[25], artinya adalah tanda adalah sesuatu yang berarti untuk seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas.
Menurut Charles S Peirce, betapa sulitnya ketika harus menganalisis definisi-definisi universal. Menurutnya, agar kalimat atau proposisi bisa bermakna, para ahli bahasa harus membuat istilah bermakna. Kebenaran dan kesalahan suatu pernyataan harus bisa dibuktikan dalam laboratorium ilmiah. Bagi Charles S Peirce, suatu masalah dikatakan signifikan, orisinal, dan bermakna apabila jawaban-jawaban untuk masalah tersebut merupakan persyaratan yang bisa dibuktikan dengan eksperimen.[26]
Berdasarkan keterangan ini, maka kita data menarik suatu kesimpulan. Kesimpulannya adalah ide, gagasan atau konsepsi yang baik itu adalah ide, gagasan atau konsepsi yang sesuai dengan konsekuensi praksisnya (akibat-akibatnya). Suatu ucapan atau ungkapan dikatakan bermakna ketika ia mengandung observation statement. Artinya, sebuah ungkapan dikatakan bermakna ketika berdasarkan observasi. Pernyataan benar, jika pernyataan sintetik dapat diuji kebenarannya secara empiris.

E.     Refleksi Akhir
Munculnya ilmu-ilmu baru, penemuan-penemuan baru yang dilakukan oleh para pemikir terdahulu dari zaman Yunani Kuno hingga sampai zaman kontemporer saat sekarang ini, kesemuanya merupakan proses yang panjang hingga sampai kepada pencapaian makna (meaning). Seperti keyakinan yang berkembang di masa Thales misalnya, bahwa alam semesta diatur oleh para Dewa (belief). Ia mulai mempersolakan tentang sesuatu hal yang diyakininya selama ini (doubt) dengan terus-menerus menggali dan mengkaji tentang asal mula alam semesta (inqury) hingga akhirnya Thales sampai pada sebuah pemaknaan terhadap alam bahwa menurutnya alam semesta ini berawal dari air dan berakhir ke air juga (meaning).
Dari proses pemaknaan para ilmuwan terhadap alam semesta, manusia, dan realitas maka muncul dan berkembang berbagai disiplin ilmu, seperti Natural Science (fisika, kimia, matematika,biologi, dll), Social Science (sosiologi, antropologi, ekonomi, hukum, politik, dll). Selain Natural Science dan Social Science, kajian epistemologi Peirce dapat diaplikasikan dalam studi islam. Studi islam dapat dilakukan baik secara deduktif- a priori maupun empiri dengan menggunakan metodee induktif- a posteriori yang berkembang menjadi abduksi. Artinya, hasil penenlitian para pakar muslim yang lalu dapat dikaji ulang, diberlakukan hipotesis-hipotesis untuk memilah-milah mana yang bersifat normatif - sakral yang perlu dipertahankan dan mana bersifat historis - profan yang dapat diubah dan terus dikembangkan. Atau dengan bahasa logika Peirce, dapa dibedakan antara Tracendental Truth, kebenaran transenden, dan Transendental Complex Truth, kebenaran kompleks.
Untuk menghadapi kelompok atau madzhab-madzhab yang cukup ekstrim dalam mempertahankan hasil pemikiran mereka beserta para pengikutnya, Peirce menawarkan metode fallibilism atau tentatinitas ilmu sehingga tidak akan muncul, atau akan meminimalisasi terjadinya klaim kebenaran ilmu yang bersifat absolut mutlak yang sering menimbulkan konflik dan perpecahan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Jadi, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kebenaran itu harus dipandang dengan relativitas yang positif, Not Absolut, Not Ekslusif, dialogis, dan tidak menang-menangan. Selain itu ilmu pengetahuan itu harus bisa diperbaiki kearah yang lebih baik (Corrigibility Knowledge). Jika tidak, Implikasinya adalah mandeg dan stagnan nya ranah empiris-positivis dan kalau itu benar terjadi, ilmu yang telah ada jadi pari purna, karena tak ada yang merespon apalagi mengkritik. Ilmu yang ada jadi absolut, karena tidak ada koreksi, verifikasi, dan penemuan-penemuan baru lanjutan. Inilah jalan dan alur berpikir ilmiah menurut Pierce. Dia menegaskan bahwa kesimpulan dari inqury pun tidak merupakan capaian yang final, dan mungkin akan terus disusul oleh capaian-capaian selanjutnya yang lebih sesuai dengan kondisi pada masa tersebut. Ini yang disebutnya dengan istilah process of philoshopy.








[1] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) hlm. 16

[2] Milton K. Munitz, Contemporary Analytic Philosophy, (New York: Macmillan Publishing Co. Inc. 1981), hlm. 7
[3] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemolog: Muhammad Iqbal dan Charles S Peirce, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007) hlm. 30
[4] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed.), Islam dalam Berbagai …, hlm.7

[5] M.Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 129
[6] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed.), Islam dalam Berbagai …, hlm. 71-73
[7] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed.), Islam dalam Bebagai Pembicaraan Kontemporer,... hlm. 16
[8] Milton K. Munitz, Contemporary Analytic Philosophy…, hlm. 27
[9] Ibid. hlm. 29
[10] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed.), Islam dalam Bebagai,... hlm. 6
[11] Ibid.  hlm. 33
[12] Ibid, hlm. 34
[13] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemolog: Muhammad Iqbal…,  hlm. 122
[14] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed.), Islam dalam ...., hlm. 18
[15] Mliton K. Munitz, Contemporary AnalyticPhil .... hlm. 42
                          [16]  Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed.), Islam dalam ....hlm. 8
           [17] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemolog: Muhammad Iqbal ....., hlm. 83

[18] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemolog: Muhammad Iqbal ....., hlm 125
[19] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty, 2007) hlm. 134
[20] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemolog: Muhammad Iqbal ...., hlm. 118
[21] Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed.), Islam dalam ....hlm. 20
[22] Mliton K. Munitz, Contemporary Analytic phil...., hlm. 48
[23] Rodliyah Khuza’I, Dialog Epistemolog: Muhammad Iqbal dan Charles S.,... hlm. 118
[24] Ibid., hlm. 4
[25] http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika, 28 September 2013, pukul 10.30 WIB
[26] Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemolog: Muhammad Iqbal ....,  hlm. 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar